Sejarah Sate Kambing

Sejarah  Sate Kambing    Kata "sate" atau "satai" diduga berasal dari bahasa Tamil. Diduga sate diciptakan oleh pedagang makanan jalanan di Jawa sekitar awal abad ke-19, berdasarkan fakta bahwa sate mulai populer sekitar awal abad ke-19 bersamaan dengan semakin banyaknya pendatang dari Arab dan pendatang Muslim Tamil dan Gujarat dari India ke Indonesia. Hal ini pula yang menjadi alasan populernya penggunaan daging kambing dan domba sebagai bahan sate yang disukai oleh warga keturunan Arab. Dalam tradisi Muslim Indonesia, hari raya Idul Adha atau hari raya kurban adalah peristiwa istimewa. Pada hari raya kurban ini daging kurban berlimpah dan dibagikan kepada kaum dhuafa dan miskin. Kebanyakan merayakannya dengan bersama-sama memanggang sate daging kambing, domba, atau sapi.  Teori lain mengusulkan bahwa asal kata sate berasal dari istilah Minnan-Tionghoa sa tae bak yang berarti tiga potong daging. Akan tetapi teori ini diragukan karena secara tradisional sate terdiri atas empat potong daging, bukan tiga. Dan angka empat dianggap bukan angka yang membawa keberuntungan dalam kebudayaan Tionghoa. Warga Tionghoa Indonesia juga mengadopsi dan mengembangkan sate sesuai selera mereka, yaitu sate babi yang disajikan dengan saus nanas atau kecap yang manis dengan tambahan bumbu-bumbu Tionghoa, sehingga sate

Kata "sate" atau "satai" diduga berasal dari bahasa Tamil. Diduga sate diciptakan oleh pedagang makanan jalanan di Jawa sekitar awal abad ke-19, berdasarkan fakta bahwa sate mulai populer sekitar awal abad ke-19 bersamaan dengan semakin banyaknya pendatang dari Arab dan pendatang Muslim Tamil dan Gujarat dari India ke Indonesia. Hal ini pula yang menjadi alasan populernya penggunaan daging kambing dan domba sebagai bahan sate yang disukai oleh warga keturunan Arab. Dalam tradisi Muslim Indonesia, hari raya Idul Adha atau hari raya kurban adalah peristiwa istimewa. Pada hari raya kurban ini daging kurban berlimpah dan dibagikan kepada kaum dhuafa dan miskin. Kebanyakan merayakannya dengan bersama-sama memanggang sate daging kambing, domba, atau sapi.

Teori lain mengusulkan bahwa asal kata sate berasal dari istilah Minnan-Tionghoa sa tae bak yang berarti tiga potong daging. Akan tetapi teori ini diragukan karena secara tradisional sate terdiri atas empat potong daging, bukan tiga. Dan angka empat dianggap bukan angka yang membawa keberuntungan dalam kebudayaan Tionghoa. Warga Tionghoa Indonesia juga mengadopsi dan mengembangkan sate sesuai selera mereka, yaitu sate babi yang disajikan dengan saus nanas atau kecap yang manis dengan tambahan bumbu-bumbu Tionghoa, sehingga sate Tionghoa memiliki cita rasa seperti hidangan daging panggang khas Tionghoa.

Dari Jawa, sate menyebar ke seluruh kepulauan Nusantara yang menghasilkan beraneka ragam variasi sate. Pada akhir abad ke-19, sate telah menyeberangi selat Malaka menuju Malaysia, Singapura, dan Thailand, dibawa oleh perantau Jawa dan Madura yang mulai berdagang sate di negeri jiran tersebut. Pada abad ke-19 istilah sate berpindah bersamaan dengan perpindahan pendatang Melayu dari Hindia Belanda menuju Afrika Selatan, di sana sate dikenal sebagai sosatie. Orang Belanda juga membawa hidangan ini—dan banyak hidangan khas Indonesia lainnya—ke negeri Belanda, hingga kini seni memasak Indonesia juga memberi pengaruh kepada seni memasak Belanda .Sate ayam atau sate babi adalah salah satu lauk-pauk yang disajikan dalam hidangan Rijsttafel di Belanda.

Datangnnya kolonial Belanda di Nusantara membawa berbagai kebudayaan barat, seperti menggunakan Sendok dan Garpu saat makan yang memudahkan untuk makan dan para pribumi masih menggunakan tangan. Para Ulama menggunakan Sate sebagai media perlawanan anti Belanda terlebih paska perang Dipenogoro, sehingga tren makan sate dikalangan rakyat pada pertengahan abad ke 18 hingga ke awal abad 19 serta menjadi tradisi pada kalangan Islam pada hari raya idul Adha, hal ini menjadi bukti dilakukannya perang secara politik terhadap belanda. Lalu dari mana kata Sate? Kata Sate sendiri dari bahasa Jawa yaitu "Sak Beteng" (Tulisan: Sak Biting) yang berarti satu tusuk, karena sebenarnya tusuk sate pada awalnya menggunakan dari lidi. Namun ada yang menyimpulkan lain yaitu kata "Sak Set" yang berarti satu set atau satu paket, mengingat biasanya satu paket sate terdiri dari 10 tusuk. Bambu yang dikecilkan hingga ke seukuran batang lidi dipilih karena lebih kokoh dan kuat saat melalui proses pembakaran dibandingkan lidi sendiri maupun jenis-jenis kayu lainnya, terlebih bambu lebih mudah dibentuk.

Comments

Silahkan tambahkan komentar Anda