Sejarah Hari Kebangkitan Nasional

  Sejarah Hari Kebangkitan Nasional     Ketika Kabinet Hatta (1948-1949) mendapat serangan balik dari pelaku Kudeta 3 Juli 1946, yakni Tan Malaka dan Mohammad Yamin dalam pembelaannya di Pengadilan Negeri, Kabinet Hatta mencoba mengadakan Hari Kebangkitan Nasional. Hal ini diakibatkan pembealaan Tan Malaka dan Mohammad Yamin diangkat di media massa cetak maupun radio, dinilai oleh Kabinet Hatta akan menumbuhkan perpecahan bangsa yang sedang menghadapi Perang Kemerdekaan.  Guna menghindarkan perpecahan tersebut, Kabinet Hatta merasa perlu membangkitkan kembali kesadaran sejarah nasional melawan penjajah. Untuk tujuan tersebut, diperlukan penentuan tanggal awal dan organisasi apa yang memelopori timbulnya gerakan kebangkitan nasional pada abad ke 20M. Tampaknya dipilihlah organisasi yang telah mati, Boedi Oetomo. Jadi, bukan organisasi sosial pendidikan Islam atau organisasi partai politik lainnya yang masih eksis dan tetap berjuang membela Proklamasi 17 Agustus 1945. Diputuskanlah Boedi Oetomo. Tanggal berdirinya 20 Mei dijadikan sebagai hari kebangkitan Nasional (Harkitnas). Bukan Serikat Dagang Islam, 16 Oktober 1905, bukan pula Serikat Islam serta bukan Perserikatan Muhammadiyah, 18 November 1912. Tidak juga Persatuan Islam, 12 September 1923, Atau Nadlatul Ulama, 31 Januari 1926. Walaupun organisasi organisasi Islam ini berakar dan berpengaruh besar pada mayoritas rakyat Indonesia dan hingga sekarang in


Ketika Kabinet Hatta (1948-1949) mendapat serangan balik dari pelaku Kudeta 3 Juli 1946, yakni Tan Malaka dan Mohammad Yamin dalam pembelaannya di Pengadilan Negeri, Kabinet Hatta mencoba mengadakan Hari Kebangkitan Nasional. Hal ini diakibatkan pembealaan Tan Malaka dan Mohammad Yamin diangkat di media massa cetak maupun radio, dinilai oleh Kabinet Hatta akan menumbuhkan perpecahan bangsa yang sedang menghadapi Perang Kemerdekaan.

Guna menghindarkan perpecahan tersebut, Kabinet Hatta merasa perlu membangkitkan kembali kesadaran sejarah nasional melawan penjajah. Untuk tujuan tersebut, diperlukan penentuan tanggal awal dan organisasi apa yang memelopori timbulnya gerakan kebangkitan nasional pada abad ke 20M. Tampaknya dipilihlah organisasi yang telah mati, Boedi Oetomo. Jadi, bukan organisasi sosial pendidikan Islam atau organisasi partai politik lainnya yang masih eksis dan tetap berjuang membela Proklamasi 17 Agustus 1945. Diputuskanlah Boedi Oetomo. Tanggal berdirinya 20 Mei dijadikan sebagai hari kebangkitan Nasional (Harkitnas). Bukan Serikat Dagang Islam, 16 Oktober 1905, bukan pula Serikat Islam serta bukan Perserikatan Muhammadiyah, 18 November 1912. Tidak juga Persatuan Islam, 12 September 1923, Atau Nadlatul Ulama, 31 Januari 1926. Walaupun organisasi organisasi Islam ini berakar dan berpengaruh besar pada mayoritas rakyat Indonesia dan hingga sekarang ini masih berperan aktif dalam pembangunan bangsa, negara, dan agama.Dengan kata lain, seluruh organisasi Islam tersebut masih hidup dan memberikan kontribusi yang besar dalam mempertahankan Proklamasi 17 Agustus 1945 dan mengakar di tengan rakyat hingga sekarang. Namun akibat deislamisasi dalam pemilihan peristiwa sejarahnya, hari jadi Budi Utomo yang tidak berkelanjutan sejarahnya, ditetapkan sebagai Harkitnas.

Budi Utomo selain sebagai kumpulan elite bangsawan, juga sebagai penganut Keadjawen yang tidak sejalan dengan agama Islam yang dianut oleh mayoritas orang Jawa sendiri. Apalagi Islam sebagai agama mayoritas bangsa Indonesia. Budi Utomo sebagai gerakan ekslusif yang menentang gerakan nasional pada zamannya. Keputusan Kabinet Hatta bila ditinjau dari fakta sejarah, terjadi deislamisasi dasar pemikiran keputusan sejarahnya dan a-historis. Apakah keputusan tersebut merupakan tindak lanjut dari keputusan tidak diakuinya kembali eksitensi empat puluh kekuasaan politik Islam atau kesultanan di Indonesia yang pernah hidup berabad-abad, jauh sebelum Proklamasi 17 Agustus 1945, berdasarkan Maklumat Presiden Nomor 1 Tahun 1946?

Tidakkah jauh sebelum Proklamasi di Nusantara Indonesia telah terdapat empat puluh kekuasaan politik Islam atau kesultanan ?. Namun dengan adanya Maklumat Presiden Nomor 1 Tahun 1946, hilanglah partisipasi politiknya dalam lembaga eksekutif. Sebenarnya, secara historis, Maklumat Presiden Nomor 1 tahun 1946 juga bertentangan dengan keputusan Muktamar Nahdlatul Ulama ke 11 di Banjarmasin pada 19 Rabiul Awal 1355 H, yang menyatakan sesungguhnya negara Indonesia dinamakan negara Islam karena telah dikuasai sepeuhnya oleh Orang Islam. Walaupun pernah direbut oleh kaum penjajah kafir, tetap namanya negara Islam. Keputusan Kabinet Presiden tersebut, tidak sejalan dengan UUD 1945 Bab IX Pasal 29 Butir satu, tentang dasar negara. Walaupun judulnya agama, isinya masalah dasar agama. Dinyatakan bahwa negara berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Wahid Hasjim dari Nahdlatul Ulama, sebagai salah seorang dari kelima Perumus Pancasila dan UUD 1945, pada 10 Ramadhan 1346 atau 18 Agustus 1945, menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan dasar negara Ketuhanan Yang Maha Esa di bawah judul Agama, secara tersirat adala Islam. Hal ini karena agama-agama non-Islam meyakini adanya Trimurti untuk Hindu dan Trinitas untuk Protestan dan Katolik.

Kebijakan politik pemerintah RI tersebut berdampak pada dasar pemahaman dan pemikiran sejarah kebangkitan nasional Indonesia pada abad ke-20 M, yang seakan tidak lagi dipelopori oleh Islam. Hal ini diikuti pula dengan kesalahan keputusan penentuan hari-hari bersejarah lainnya. Hari pendidika Nasional, jatuh pada hari kelahiran Ki Hajar Dewantara pendiri Taman Siswa, 1922 M. Bukan pada hari kelahiran Kiai Hajdi Achmad Dachlan atau tanggal berdirinya Perserikatan Muhammadiyah, 18 November 1912 M.(IDH)

Manusia dengan sandang sanjungnya gelisah terhadap segenap kemunduran dan kemajuan umat. Gelisah terhadap canggihnya teknologi yang semakin memukau, gelisah terhadap berbagai tantangan hidup yang semakin membingungkan dan membimbangkan sambil tak menyadari bahwa Tuhan tak membebani umat-Nya dengan takaran tantangan yang berlebihan. Atau dengan kata lain, pada hakekatnya manusia itu tidak dibebani beban orang lain sehingga, andai ia tak mampu bangkit, tak usahlah menyalahkan orang lain, lebih-lebih lagi menyalahkan Tuhannya sendiri ! dan iapun tak memikul dosa orang lain !

Manusia yang masih bercokol dalam wawasan jahiliyah yang sempit, yang parsial-simpek, akan sulit bangkit dalam arti sebenar-benarnya. Sebab, kebangkita yang sejati dimulai dari kebangkitan tata pikir yang lebih dewasa, yang tidak kekanak-kanakan, yang kokoh konstruktif, yang berencana matang. Agama mencanangkan perubahan nasib lewat usaha dalam kelurusan niat. Dalam arti bahwa pluit dimulainya perjuangan hidup tak usahlah menanti dulu aba-aba yang munculnya dari langit. Memang itulah yang dikehendaki Sang Kreator : ’Tak kan berubah nasib suatu bangsa, kecuali bangsa itu yang merubahnya sendiri’. Ini menandakan bahwa Tuhan telah maha jujur terhadap kreasi Nya sendiri, dalam hal ini kreasi yang berwujud makhluk berakal, yang diberi lahan berpikir, yang diberi lahan usaha. Setelah sadar bahwa Tuhan bukanlah diktator, mengapa umat berpangku tangan saja menanti guyuran nasib? Mengapa umat tak mampu merombak sistem berpikir yang telah usang dan lapuk, yang tak sesuai lagi dengan tantangan yang semakin berkembang, yang tak seiring dengan mengembangnya daya pikir kekhalifahan insan, yang tak seiring dengan mengembangnya jagat raya itu sendiri?

Bangkit yang sebenar-benarnya bangkit bukanlah sekadar menghambur-hamburkan anjuran manis yang tanpa bekas. Merombak cara berpikir bukanlah merombak aqidah yang lempang sebab aqidah itu sendiri akan senantiasa terusung nilainya di dalam evolusi berpikir yang sehat dan jujur. Tuhan tak kan merelakan agama diusung oleh kesempitan pikir, sebab agama itu sendiri diturunkan pada manusia justru untuk menyelamatkan manusia dalam kesesatan pikiran. Alangkah indahnya negeri yang semarak ilmu, semarak teknologi, yang ilmu dan teknologinya berguna bagi kesejahteraan ummat karena diimbas oleh nilai-nilai spiritual. Negeri demikian adalah negeri yang berilmuwan dan berteknologi penuh ketaqwaan, yang tak takkabur berkat ilmu dan kecanggihan teknologinya, yang penuh syukur terhadap Tuhan yang Mahaluhur.

  Sejarah Hari Kebangkitan Nasional     Ketika Kabinet Hatta (1948-1949) mendapat serangan balik dari pelaku Kudeta 3 Juli 1946, yakni Tan Malaka dan Mohammad Yamin dalam pembelaannya di Pengadilan Negeri, Kabinet Hatta mencoba mengadakan Hari Kebangkitan Nasional. Hal ini diakibatkan pembealaan Tan Malaka dan Mohammad Yamin diangkat di media massa cetak maupun radio, dinilai oleh Kabinet Hatta akan menumbuhkan perpecahan bangsa yang sedang menghadapi Perang Kemerdekaan.  Guna menghindarkan perpecahan tersebut, Kabinet Hatta merasa perlu membangkitkan kembali kesadaran sejarah nasional melawan penjajah. Untuk tujuan tersebut, diperlukan penentuan tanggal awal dan organisasi apa yang memelopori timbulnya gerakan kebangkitan nasional pada abad ke 20M. Tampaknya dipilihlah organisasi yang telah mati, Boedi Oetomo. Jadi, bukan organisasi sosial pendidikan Islam atau organisasi partai politik lainnya yang masih eksis dan tetap berjuang membela Proklamasi 17 Agustus 1945. Diputuskanlah Boedi Oetomo. Tanggal berdirinya 20 Mei dijadikan sebagai hari kebangkitan Nasional (Harkitnas). Bukan Serikat Dagang Islam, 16 Oktober 1905, bukan pula Serikat Islam serta bukan Perserikatan Muhammadiyah, 18 November 1912. Tidak juga Persatuan Islam, 12 September 1923, Atau Nadlatul Ulama, 31 Januari 1926. Walaupun organisasi organisasi Islam ini berakar dan berpengaruh besar pada mayoritas rakyat Indonesia dan hingga sekarang in

Dengan jiwa mutma’innah, semoga tidak teralami kembali kutukan terhadap negeri Saba, yang diporak-porandakan Tuhan disebabkan oleh para penghuninya yang pintar namun tak sudi syukur terhadap Gusti Allahnya. Masa lampau merupakan pelajaran buat masa kini, musibah masa lampau tak usahlah terulang kembali. Marilah kita berjuang membangun kebenaran Allah tanpa didekili interes yang kusam, kita bangun negeri yang baldatun tayyibatun wa-Rabbun ghafur, negeri indah adil makmur dalam ampunan Allah !

Dengan berbekal seabrek pengalaman sejarah yang tidak hanya menginjak harga diri siapapun, sudah saatnya kita sebagai salah satu dari komponen masyarakat Indonesia mulai berbenah diri dan bersatu guna membangun negara kita agar jauh lebih baik lagi. Mari kita intropeksi diri secara totalitas sehingga kita mempunyai suatu kesadaran ruang, posisi, dan moral yang balance. Namun hal lain yang perlu mendapatkan sentuhan lebih adalah masalah pendidikan. Bagaimanapun juga, indikasi yang paling dominan untuk menunjukkan suatu peradaban maju dari sebuah bangsa adalah ketika sektor pendidikannya berkualitas lebih. Semoga momen kebangkitan nasional ini bukanlah sekadar slogan-slogan belaka, melainkan kebangkitan yang penuh daya kreatif, energik, yang mampu memberi arti pada kehidupan, yang mampu memupus segala kegelisahan kini, yang mampu menggelarkan fitrah kesucian dalam genangan Ridho Ilahi Rabbi

Comments

Silahkan tambahkan komentar Anda