Sejarah PT Kereta Api Indonesia


    Sejarah PT Kereta Api Indonesia     Nama DKARI kemudian diubah menjadi Perusahaan Negara Kereta Api (PNKA) kemudian diubah lagi menjadi Perusahaan Jawatan Kereta Api (PJKA). Logo yang digunakan DKARI, PNKA dan PJKA didominasi warna background kuning dengan simbol garis hijau bebentuk menyerupai sayap burung. Logo ini terdiri dari sebuah gambar roda kereta yang dihimpit oleh 2 buah sayap yang mengembang yang terdiri dari lima helai bulu setiap sayap. Logo ini memiliki kesan gagah dan militeristik dan digunakan pada tahun 1953 hingga 1988. Sekarang kita dapat melihat logo ini hanya di beberapa aset kereta api Indonesia yang bersejarah atau yang sudah langka (seperti lokomotif CC 200 yang hanya tersisa satu yang masih hidup).  Dapat dikatakan bahwa secara de-facto hadirnya kerata api di Indonesia ialah dengan dibangunnya jalan rel sepanjang 26 km pada lintas Kemijen-Tanggung yang dibangun oleh NV. Nederlandsch Indische Spoorweg Maatschappij (NIS). Pembangunan jalan rel tersebut dimulai dengan penyangkulan pertama pembangunan badan jalan rel oleh Gubernur Jenderal Belanda Mr. L.A.J. Baron Sloet Van De Beele pada hari Jum’at tanggal 17 Juni 1864. Jalur kereta api lintas Kemijen Tanggung mulai dibuka untuk umum pada hari Sabtu, 10 Agustus 1867. Sedangkan landasan de-jure


Nama DKARI kemudian diubah menjadi Perusahaan Negara Kereta Api (PNKA) kemudian diubah lagi menjadi Perusahaan Jawatan Kereta Api (PJKA). Logo yang digunakan DKARI, PNKA dan PJKA didominasi warna background kuning dengan simbol garis hijau bebentuk menyerupai sayap burung. Logo ini terdiri dari sebuah gambar roda kereta yang dihimpit oleh 2 buah sayap yang mengembang yang terdiri dari lima helai bulu setiap sayap. Logo ini memiliki kesan gagah dan militeristik dan digunakan pada tahun 1953 hingga 1988. Sekarang kita dapat melihat logo ini hanya di beberapa aset kereta api Indonesia yang bersejarah atau yang sudah langka (seperti lokomotif CC 200 yang hanya tersisa satu yang masih hidup).

Dapat dikatakan bahwa secara de-facto hadirnya kerata api di Indonesia ialah dengan dibangunnya jalan rel sepanjang 26 km pada lintas Kemijen-Tanggung yang dibangun oleh NV. Nederlandsch Indische Spoorweg Maatschappij (NIS). Pembangunan jalan rel tersebut dimulai dengan penyangkulan pertama pembangunan badan jalan rel oleh Gubernur Jenderal Belanda Mr. L.A.J. Baron Sloet Van De Beele pada hari Jum’at tanggal 17 Juni 1864. Jalur kereta api lintas Kemijen Tanggung mulai dibuka untuk umum pada hari Sabtu, 10 Agustus 1867. Sedangkan landasan de-jure pembangunan jalan rel di jawa ialah disetujuinya undang-undang pembangunan jalan rel oleh pemerintah Hindia Belanda tanggal 6 April 1875.

Dengan telah adanya undang-undang pembangunan jalan rel yang dikeluarkan oleh pemerintah Hindia Belanda dan dengan berhasilnya operasi kereta api lintas Kemijen-Temanggung (yang kemudian pembangunannya diteruskan hingga ke Solo), pembangunan jalan rel dilakukan di beberapa tempat bahkan hingga di luar Jawa, yaitu di Sumatera dan Sulawesi. Namun sejarah jalan rel di Indonesia mencatat adanya masa yang memprihatinkan yaitu pada masa pendudukan Jepang. Beberapa jalan rel di pulau Sumatera dan pulau Sulawesi serta sebagian lintas cabang di pulau Jawa dibongkar untuk diangkut dan dipasang di Burma (Myanmar). Bahkan pemindahan jalan rel ini juga disertai dengan dialihkannya sejumlah tenaga kereta api Indonesia ke Myanmar. Akibat tindakan Jepang tersebut ialah berkurangnya jaringan jalan rel di Indonesia. Data tahun 1999 memberikan informasi bahwa panjang jalan rel di Indonesia ialah 4615,918 km, terdiri atas Lintas Raya 4292,322 km dan Lintas Cabang 323,596.

Dalam masa perjuangan kemerdekaan Republik Indonesia peran kereta api sangatlah besar. Sejarah mencatat peran kereta api dalam distribusi logistik untuk keperluan perjuangan dari Ciporoyom (Bandung) ke pedalaman Jawa Tengah, mobilisasi prajurit pejuang di wilayah Jogjakarta-Magelang Ambarawa. Hijrahnya pemerintahan republik Indonesia dari Jakarta ke Jogjakarta tahun 1946 tidak lepas pula dari peran kereta api. Tanggal 3 Januari 1946 rombongan Presiden Soekarno berhasil meninggalkan Jakarta menggunakan kereta api, tiba di Jogjakarta tanggal 4 Januari 1946 pukul 09.00 disambut oleh Sri Sultan Hamengkubuwono IX.

Sejarah perjuangan Bangsa Indonesia mencatat pengambilalihan kekuasaan perkereta-apian dari pihak Jepang oleh Angkatan Moeda Kereta Api (AMKA) pada peristiwa bersejarah tanggal 28 September 1945. Pengelolaan kereta api di Indonesia telah ditangani oleh institusi yang dalam sejarahnya telah mengalami beberapa kali perubahan. Institusi pengelolaan dimulai dengan nasionalisasi seluruh perkereta-apian oleh Djawatan Kereta Api Indonesia (DKARI), yang kemudian namanya dipersingkat dengan Djawatan Kereta Api (DKA), hingga tahun 1950. Institusi tersebut berubah menjadi Perusahaan Negara Kereta Api (PNKA) pada tahun 1963 dengan PP. No. 22 tahun 1963, kemudian dengan PP. No. 61 tahun 1971 berubah menjadi Perusahaan Jawatan Kereta Api (PJKA). Perubahan kembali terjadi pada tahun 1990 dengan PP. No. 57 tahun 1990 status perusahaan jawatan diubah menjadi perusahaan umum sehingga PJKA berubah menjadi Perusahaan Umum Kerata Api (Perumka). Perubahan besar terjadi pada tahun 1998, yaitu perubahan status dari Perusahaan Umum Kereta Api menjadi PT Kereta Api (persero), berdasarkan PP. No. 19 tahun 1998.

Perkembangan dalam dunia kereta api di Indonesia terus berlangsung, begitu pula dengan teknologinya. Tanggal 31 Juli 1995 diluncurkan KA Argo Bromo (dikenal juga sebagai KA JS 950) Jakarta-Surabaya dan KA Argo Gede (JB 250) Jakarta-Bandung. Peluncuran kedua kereta api tersebut mendandai apresiasi perkembangan teknologi kereta api di Indonesia dan sekaligus banyak dikenal sebagai embrio teknologi nasional. Saat ini selain kedua KA “Argo” tersebut di atas, telah beroperasi pula KA Argo Lawu, KA Argo Dwipangga, KA Argo Wilis, KA Argo Muria.

Perkertaapian di Indonesia merupakan institusi yang sudah sangat tua, sehingga tak heran apabila belakangan ini mengalami kemunduran yang luar biasa. Permasalahannya yang dihadapi bukan hanya kemunduran yang bersifat pengelolanya. Kemunduran tersebut meliputi kondisi terk yang sudah buruk, armada lokomotif yang sudah sangat tua, tingat kerusakan sarana serta prasarana yang sangat tinggi, operasional kereta api yang lambat dan tidak bisa diandalkan lagi, sampai terjadinya penurunan pada basisi grafik, pelayanan seadanya, standar keselamatan yang jauh dibawah batas normal, serta yang lenih parah lagi adanya penurunan dalam posisi financial perusahaan. Hal tersebut merupakan factor-faktor yang mengakibatkan banyak reaksi masyarakat yang mengkritik kinerja direksi PT. KA (Persero) beserta jajarannya. Contoh lain yang yang kini dialami perusahaan ini antara lain adalah menyangkut pegawai yang berlebihan, disiplin pegawai yang sangat rendah dikarenakan kesejahteraan dan pensiunan yang tidak memadai, “defisit” dana pensiunan yang sangat besar, juga restrukturisasi perusahaan dan implementasi proyek fisik bantuan Bank Dunia bermasalah yang stagnan alias tidak berkembang, semua ini diperparah lagi dengan birokrasi yang terkotak-kotak, penegambilan keputusan masih terkonsentrasi di tangan direksi serta budaya manajemen yang resisten terhadap perkeretaapian.

Akibatnya adalah rendahnya kepercayaan masyarakat terhadap perkeretaapian yang dikelola oleh PT. KA (Persero), sehingga tidak heran apabila terjadi penurunan volume penumpang kereta api yang merupakan sebuah indikasi akan rendahnya kualitas pelayanan kereta api, baik hal yang menyangkut keamanan, ketepatan waktu, kemudahan, keandalan, terlebih lagi tingkat keselamatannya kurang sekali. Padahal sangat diyakini bahwa sebagian besar masyarakat menganggap perkeretaapian mutlak dibutuhkan, apakah secara ekonomis dapat di justifikasi atau tidak sebab masyarakat beranggapan bahwa pelayanan perkeretaapian merupakan “Hak Dasar” seperti halnya pendidikan dan kesehatan. Untuk meningkatkan pelayanan membutuhkan ongkos yang besar, hal pertama yang sifatnya mutlak adalah sarana dan prasarana haruslah ditambah. Contohnya saat ini, kereta yang beroperasi untuk melayani angkutan Jabotabek saja hanya berjumlah 65 rangkaian atau 260 kereta padahal untuk menjadikan penumpang tidak berjubel di dalam gerbong dibutuhkan kereta sekitar 250 buah.

                      Sejarah PT Kereta Api Indonesia     Nama DKARI kemudian diubah menjadi Perusahaan Negara Kereta Api (PNKA) kemudian diubah lagi menjadi Perusahaan Jawatan Kereta Api (PJKA). Logo yang digunakan DKARI, PNKA dan PJKA didominasi warna background kuning dengan simbol garis hijau bebentuk menyerupai sayap burung. Logo ini terdiri dari sebuah gambar roda kereta yang dihimpit oleh 2 buah sayap yang mengembang yang terdiri dari lima helai bulu setiap sayap. Logo ini memiliki kesan gagah dan militeristik dan digunakan pada tahun 1953 hingga 1988. Sekarang kita dapat melihat logo ini hanya di beberapa aset kereta api Indonesia yang bersejarah atau yang sudah langka (seperti lokomotif CC 200 yang hanya tersisa satu yang masih hidup).  Dapat dikatakan bahwa secara de-facto hadirnya kerata api di Indonesia ialah dengan dibangunnya jalan rel sepanjang 26 km pada lintas Kemijen-Tanggung yang dibangun oleh NV. Nederlandsch Indische Spoorweg Maatschappij (NIS). Pembangunan jalan rel tersebut dimulai dengan penyangkulan pertama pembangunan badan jalan rel oleh Gubernur Jenderal Belanda Mr. L.A.J. Baron Sloet Van De Beele pada hari Jum’at tanggal 17 Juni 1864. Jalur kereta api lintas Kemijen Tanggung mulai dibuka untuk umum pada hari Sabtu, 10 Agustus 1867. Sedangkan landasan de-jure


Kondisi seperti itu banyak terjadi pada kereta api, maka hal seperti itulah yang membuat pengoperasian kereta api menjafi dilematis, sedangkan tuntutan masyarakat konsumen jelas dan dapat dimengerti bahwa mereka membutuhkan angkutan yang aman dan nyaman. Disisi lain pengelolaan kereta api selalu mengalami krisis anggaran sedangkan apabila mengharapkan subsidi dari pemerintah sudah tidak mungkin lagi karena pemerintah saat ini sangat kekurangan dana sehingga hanya memberikan pada sektor yang menjadi skala prioritas. Satu-satunya cara PT. KA (Persero) melakukan berbagai pemeriksaan guna mengoptimalisasikan pendapatan, afisiensi dari perawatan, dan jangan terlalu bergantung pada PSO dan IMO karena kan menghambat kemampuan manajemen dalam mengelola usaha perusahaan. Selama ini PT. KA (Persero) menjadikan selisih PSO ditambah infrastructure Maintenance Operation (IMO) dikurangi Track acces Charge (TAC) sebagai cara dalam menghitung keuntungan. Jika direksi PT. KA (Persero) cukup pintar, untuk memperoleh data yang paling murah adalah menaikan tarif angkutan kereta api batu bara di Sumatera Selatan karena selama ini ongkos angkutan ini masih dibawah standar yang harusnya di kisaran 5,7 US$ sekarang yang diterapkan hanya 2,5 % saja

Comments

Silahkan tambahkan komentar Anda