Sejarah Keraton


  Sejarah Keraton         Keraton berasal dari kata “rat” mendapat awalan “ka” atau “ke” dan akhiran “an” mempunyai arti tempat tinggal ratu1, pusat pemerintahan ratu, atau ibu kota kerajaan. Sedangkan kerajaan berasal dari kata “raj” mendapat awalan “ke” atau “ka” dan mendapat akhiran “an” mempunyai arti tempat tinggal raja yang erat hubungannya dengan daerah atau wilayah kekuasaan raja.2 Menurut Darsiti Soeratman arti keraton memiliki beberapa makna, antara lain yang pertama negara atau kerajaan dan yang kedua yaitu pekarangan raja, meliputi wilayah di dalam cepuri (tembok yang mengelilingi halaman). Pada intinya Darsiti Soeratman menyebutkan bahwa keraton yaitu ruang lingkup tempat kediaman raja.  Keraton Surakarta atau lengkapnya dalam bahasa Jawa disebut Karaton Surakarta Hadiningrat adalah istana Kasunanan Surakarta. Keraton ini didirikan oleh Susuhunan Pakubuwono II (Sunan PB II) pada tahun 1744 sebagai pengganti Istana/Keraton Kartasura yang porak-poranda akibat Geger Pecinan1743. Istana terakhir Kerajaan Mataram didirikan di desa Sala (Solo), sebuah pelabuhan kecil di tepi barat Bengawan (sungai) Beton/Sala. Setelah resmi istana Kerajaan Mataram selesai dibangun, nama desa itu diubah menjadi Surakarta Hadiningrat. Istana ini pula menjadi saksi bisu penyerahan kedaulatan Kerajaan Mataram oleh Sunan PB II kepada VOC pada tahun 1749. Setelah Perjanjian Giyanti

Keraton berasal dari kata “rat” mendapat awalan “ka” atau “ke” dan akhiran “an” mempunyai arti tempat tinggal ratu1, pusat pemerintahan ratu, atau ibu kota kerajaan. Sedangkan kerajaan berasal dari kata “raj” mendapat awalan “ke” atau “ka” dan mendapat akhiran “an” mempunyai arti tempat tinggal raja yang erat hubungannya dengan daerah atau wilayah kekuasaan raja.2 Menurut Darsiti Soeratman arti keraton memiliki beberapa makna, antara lain yang pertama negara atau kerajaan dan yang kedua yaitu pekarangan raja, meliputi wilayah di dalam cepuri (tembok yang mengelilingi halaman). Pada intinya Darsiti Soeratman menyebutkan bahwa keraton yaitu ruang lingkup tempat kediaman raja.


Keraton Surakarta atau lengkapnya dalam bahasa Jawa disebut Karaton Surakarta Hadiningrat adalah istana Kasunanan Surakarta. Keraton ini didirikan oleh Susuhunan Pakubuwono II (Sunan PB II) pada tahun 1744 sebagai pengganti Istana/Keraton Kartasura yang porak-poranda akibat Geger Pecinan1743. Istana terakhir Kerajaan Mataram didirikan di desa Sala (Solo), sebuah pelabuhan kecil di tepi barat Bengawan (sungai) Beton/Sala. Setelah resmi istana Kerajaan Mataram selesai dibangun, nama desa itu diubah menjadi Surakarta Hadiningrat. Istana ini pula menjadi saksi bisu penyerahan kedaulatan Kerajaan Mataram oleh Sunan PB II kepada VOC pada tahun 1749. Setelah Perjanjian Giyanti tahun 1755, keraton ini kemudian dijadikan istana resmi bagi Kasunanan Surakarta. Kompleks bangunan keraton ini masih berfungsi sebagai tempat tinggal sunan dan rumah tangga istananya yang masih menjalankan tradisi kerajaan hingga saat ini. Keraton ini kini juga merupakan salah satu objek wisata di Kota Solo. Sebagian kompleks keraton merupakan museum yang menyimpan berbagai koleksi milik kasunanan, termasuk berbagai pemberian dari raja-raja Eropa, replika pusaka keraton, dan gamelan. Dari segi bangunannya, keraton ini merupakan salah satu contoh arsitektur istana Jawa tradisional yang terbaik.

Tetapi akhir-akhir ini media baik itu elektronik maupun cetak memberitakan soal gonjang ganjing di Keraton Surakarta lantaran masalah konflik internal, dikutip dari Harian Solo pos Tgl 27 Mei 2013 Penyebab diduga lantaran kemelut internal Keraton yang tak kunjung selesai. dari tulisan ini tentu patut kita sayangkan.

Hubbur riyasah (cinta kekuasaan) adalah salah satu syahwat yang sering menimpa manusia. Bagi orang yang terkena penyakit ini, kekuasaan, jabatan dan segala yang mengiringinya berupa popularitas dan ketenaran merupakan tujuan hidupnya. Berkenaan dengan bahaya cinta kekuasaan ini Rasulullah Shalallaahu alaihi wasalam telah bersabda yang diriwayatkan oleh Ka'ab bib Malik Radhiallaahu anhu ,

"Dua ekor serigala yang dilepas kepada seekor domba tidak lebih parah kerusakannya bagi domba itu, bila dibandingkan ketamakan seseorang terhadap harta dan kedudukan dalam merusak agamanya." (dikeluarkan oleh at-Tirmidzi dan mengatakan, "hadits hasan shahih")


                   Sejarah Keraton         Keraton berasal dari kata “rat” mendapat awalan “ka” atau “ke” dan akhiran “an” mempunyai arti tempat tinggal ratu1, pusat pemerintahan ratu, atau ibu kota kerajaan. Sedangkan kerajaan berasal dari kata “raj” mendapat awalan “ke” atau “ka” dan mendapat akhiran “an” mempunyai arti tempat tinggal raja yang erat hubungannya dengan daerah atau wilayah kekuasaan raja.2 Menurut Darsiti Soeratman arti keraton memiliki beberapa makna, antara lain yang pertama negara atau kerajaan dan yang kedua yaitu pekarangan raja, meliputi wilayah di dalam cepuri (tembok yang mengelilingi halaman). Pada intinya Darsiti Soeratman menyebutkan bahwa keraton yaitu ruang lingkup tempat kediaman raja.  Keraton Surakarta atau lengkapnya dalam bahasa Jawa disebut Karaton Surakarta Hadiningrat adalah istana Kasunanan Surakarta. Keraton ini didirikan oleh Susuhunan Pakubuwono II (Sunan PB II) pada tahun 1744 sebagai pengganti Istana/Keraton Kartasura yang porak-poranda akibat Geger Pecinan1743. Istana terakhir Kerajaan Mataram didirikan di desa Sala (Solo), sebuah pelabuhan kecil di tepi barat Bengawan (sungai) Beton/Sala. Setelah resmi istana Kerajaan Mataram selesai dibangun, nama desa itu diubah menjadi Surakarta Hadiningrat. Istana ini pula menjadi saksi bisu penyerahan kedaulatan Kerajaan Mataram oleh Sunan PB II kepada VOC pada tahun 1749. Setelah Perjanjian Giyanti

Al-Hafidz Ibnu Rajab tatkala menjelaskan hadits ini mengatakan, "Rasulullah Shalallaahu alaihi wasalam memberitahukan bahwa ketamakan seseorang terhadap harta dan kedudukan akan merusak agamanya, dan kerusakan itu tidak lebih kecil daripada kerusakan akibat keberingasan dua serigala terhadap seekor domba. Bisa jadi sepadan atau mungkin lebih besar. Ini mengisyarat kan bahwa tidak akan selamat agama seseorang jika dia tamak terhadap harta dan kedudukan dunia, kecuali sangat sedikit (yang bisa selamat darinya). Sebagaimana pula halnya seekor domba tidak akan selamat dari keberingasan dua ekor serigala yang sedang lapar, kecuali sangat sedikit sekali.

Gapura Gladag


Pada awalnya, Gapura Gladag adalah pintu masuk wilayah Keraton Surakarta dari arah utara yang didesain dalam bentuk gapura melengkung dan dibuat dari besi yang dihias berbagai gambar binatang buruan. Dari perkembangannya hingga saat ini, Gapura Gladag tersebut akhirnya berbentuk gapura candi bentar dengan ornamen hias yang berjumlah 48 dan jeruji tembok yang juga berjumlah 48. Hal ini merupakan angka peringatan ulang tahun Sri Susuhunan Pakubuwono X pada saat pembangunan gapura ini. Didepan Gapura Gladag, terdapat dua arca raksasa kembar di kiri dan kanan jalan yang disebut Reca Pandita Yaksa. Di sisi kanan-kiri Jalan Pakubuwono (yang membelah Gapura Gladag) ini ditanami beberapa pohon beringin.
Pada zaman dahulu, space area disekitar Gapura Gladag dan gapura ke dua dipakai sebagai tempat menyimpan binatang hasil buruan sebelum digladag (dipaksa) dan disembelih ditempat penyembelihan. Wujud arsitektur pada kawasan Gladag ini adalah mengandung arti simbolis ajaran langkah pertama dalam usaha seseorang untuk mencapai tujuan ke arah Manunggaling Kawula kalawan Gusti (Bersatunya Rakyat dengan Raja)

Pangurakan adalah merupakan bagian ruang antara gapura ke dua dan gapura ke tiga. Tempat ini berfungsi sebagai tempat penyembelihan (ngurak) binatang hasil buruan, dimana daging tersebut kemudian dibagikan secara adil kepada para putra sentana dan abdi dalem yang saat itu berada di lokasi penyembelihan. Di tepi jalan daerah Pangurakan terdapat bangunan bangsal yang diberi nama Bangsal Pangurakan. Bangsal ini adalah bangunan tempat menyembelih binatang buruan. Selain terdapat gambar api berkobar dan gambar matahari, di dalam Bangsal Pangurakan. Itu juga terdapat dua batu centeng besar berbentuk persegi, dengan lubang persegi ditengahnya, yang berfungsi sebagai tempat membakar dupa pada saat mengadakan upacara penyembelihan hewan buruan.

Alun-Alun Lor (Utara)


Alun-alun merupakan sebuah tanah lapang yang berfungsi sebagai lokasi tempat berkumpulnya rakyat banyak. Pada saat ini, ruang luas rata berpasir dari Alun-Alun Lor telah diganti dengan ruang rata yang berumput. Bahkan, tepat di tengah alun-alun membujur dari utara ke selatan sampai Pagelaran, dibuat jalur jalan pedestrian yang diperkuat oleh tanaman palem raja. Di pinggir alun-alun juga ditanami sejumlah pohon beringin.

Bale tersebut diantaranya adalah Gedhong Kiwa, Keparak Kiwa, Jeksa, Penumping, Paseban Pemajegan, Kadipaten Anom, Bumi Gede, Keparak Tengen, Gedhong Tengen, dan Bangsal Patalon. Bangunan-bangunan ini sekarang dipergunakan sebagai kios penjual cinderamata. Di sebelah barat daya Alun-Alun Lor (ke arah Pasar Klewer) dan sebelah timur laut (ke arah Pasar Beteng dan Pusat Grosir Solo) terdapat 2 gapura besar yang berfungsi sebagai pintu keluar dari Alun-Alun Lor yang bernama Gapura Batangan dan Gapura Klewer.

Comments

Silahkan tambahkan komentar Anda