Sebenarnya Islam sudah dikenal oleh bangsa Jerman sejak zaman pendudukan Kekhalifahan Islam di Spanyol. Pada saat itulah kekuasaan dan kemajuan dunia Islam disegani oleh bangsa- bangsa Eropa. Andalusia dijadikan pusat pengembangan ilmu pengetahuan dibawah Kekhalifahan Islam. Eropa mulai memasuki abad pertengahan, mereka menyebutnya sebagai zaman kegelapan atau The Dark Age. Pada zaman perang salib, peperangan terjadi antara kaum muslim dengan bangsa Eropa, terutama Perancis, Jerman dan Inggris. Setelah perang salib berakhir, toleransi antar agama dan kebudayaan pun berlangsung.
Di saat itulah bangsa Eropa termasuk Jerman mulai mengenal lebih jauh tentang Islam. Sastrawan nomor satu di Jerman, Wolfgang von Goethe, adalah seorang pengagum Muhammad saw.Hubungan antara Jerman dan Islam terus berlanjut. Pada tahun 1739, raja Friedrich Wilhelm I mendirikan sebuah masjid di kota Potsdam untuk tentaranya yang beragama Islam, mereka disebut dengan nama pasukan Muhammadaner. Mereka juga diberikan jaminan kebebasan beribadah. Pada Februari 1807 pasukan Muhammadaner membantu raja Wilhelm memerangi Napoleon dari Perancis. Bersama pasukan Jerman lainnya, mereka pun memerangi Rusia dan Polandia.
Pada satu resimen bernama Towarczy, 1220 tentara beragama Islam dan 1320 tentara lainnya beragama kristen. Pada zaman itu, kaum muslim di Jerman selain menjadi tentara, mereka juga banyak yang menjadi pedagang, diplomat, ilmuwan, dan penulis. Pada saat Perang Dunia Pertama, Jerman kembali bersekutu dengan tentara muslim dari Kekhalifahan Turki. Hal ini membuat komunitas muslim di Jerman bertambah banyak dan makin menguatkan eksistensinya. Lembaga Muslim Jerman sudah berdiri pada tahun 1930. Antara 1933 dan 1945, tercatat lebih dari tiga ribu warga Jerman beragama Islam, dan tiga ratus di antaranya berdarah etnis Jerman. Sayangnya, pada saat kepemimpinan Hitler dan perang dunia kedua, umatIslam terpecah-pecah. Kebebasan beribadah terancam. Sebagian umat Islam pergi melarikan diri ke negaraBalkan. Setelah perang dunia kedua berakhir dengan kekalahan besar yang didapatkan Jerman, hubungan antara Jerman dan umat Islam kembali terjalin. Keberadaan Islam di Jerman meningkat pada tahun 1960-an. Akibat perang dunia, negara Jerman hancur berantakan. Jerman membutuhkan banyak tenaga kerja. Para pekerja berdatangan dari Italia, Turki dan Eropa Timur untuk membangun Jerman kembali. Setelah kontrak kerja mereka selesai, para pekerja ini menolak untuk pulang ke negara mereka, bahkan mereka mendatangkan keluarga-keluarganya untuk tinggal menetap di Jerman. Berlin menjadi kota dengan jumlah komunitas Turki terbesar setelah Istanbul. Meski Islam dan umatnya kerap dilecehkan dan mendapat teror di berbgai tempat, namun cahaya kebenaran tidak pernah redup. Di Jerman, sebuah sensus menyebutkan bahwa Islam menyebar pesat.
Sebuah kajian mengenai kehidupan Muslim di Jerman menunjukkan fenomena pindah agama di kalangan masyakarat kelas menengah Jerman yang angkanya cukup mencengangkan. Walaupun media “rajin” memberitakan tentang terorisme yang dikaitkan dengan Islam, kekerasan dalam rumah tangga Muslim, dan bom bunuh diri. Islam masuk akal dan memiliki arahan yang jelas. Fakta bahwa para muallaf datang dari kalangan berpendidikan dan intelektual seperti dokter Kai Lühr dan pengacara Nils von Bergner menyatakan Islam adalah agama yang dapat diterima akal. Lain halnya dengan Nils von Bergner, satu dari lebih dari 350 warga Hamburg yang masuk Islam di tahun 2005. Dia punya cerita lain tentang perjalanannya menuju Islam. Ia mengaku sebagai orang yang senantiasa mengimani Tuhan, dan beribadah kepadaNya. “Namun di satu sisi saya tidak merasa bahagia, saya selalu memiliki perasaan bahwa saya membalas kebaikan Tuhan terlalu sedikit,” katanya saat mengisahkan masa lalu perjalanannya menuju Islam. “Dan itulah alasan kenapa saya pernah bertutur, bahwa jika sudah memeluk Islam, saya benar-benar ingin lima kali sehari mengingat dan memanjatkan doa dan mendapatkan kesempatan untuk berterimakasih kepada Tuhan.”
Jerman ternyata memiliki lebih banyak penduduk Muslim daripada yang diperkirakan sebelumnya dengan hampir separuh dari mereka memiliki kewarganegaraan Jerman sehingga dapat ikut memberikan suara dalam pemilu. Muslim di Jerman adalah minoritas terbesar di negara tersebut dan terbesar kedua di Eropa setelah Perancis. Meskipun mereka telah berimigrasi ke Jerman sejak 1960an. Muslim Jerman terus menderita berbagai problem sosial, seperti pengangguran, kurangnya pendidikan dan perwakilan politik. Mayoritas umat Muslim Jerman taat sekali dalam menjalankan ajaran agamanya namun mereka menghadapi sejumlah penghalang dalam integrasi sosial akibat adanya aturan-aturan seperti pemisahan laki-laki dan perempuan serta akomodasi religius di sekolah. Meskipun lebih dari separuh Muslim yang disurvei adalah anggota sejumlah organisasi, seperti klub olahraga atau perkumpulan orangtua, bukanlah sebuah indikasi yang cukup kuat akan adanya integrasi sosial ketika banyak Muslim yang menjadikan sekolah-sekolah umum di Jerman sebagai kekhawatiran utama mereka. Kurangnya akomodasi keagamaan di kelas-kelas agama dan digabungnya siswa laki-laki dan perempuan dalam satu kelas adalah dua dari sejumlah isu utama yang dihadapi generasi muda Muslim di Jerman. Menyerukan lebih banyak kesetaraan hukum bagi Muslim Jerman dan penguasaan bahasa Jerman sebagai faktor-faktor utama penjamin integrasi kaum agama minoritas. Muslim harus memiliki hak-hak yang sama karena negara kita menjamin kebebasan beragama dan hal itu tidak terbatas pada satu sudut pandang dunia bahwa umat Muslim harus menerima konstitusi demokratis "tanpa syarat".
Sebuah kajian mengenai kehidupan Muslim di Jerman menunjukkan fenomena pindah agama di kalangan masyakarat kelas menengah Jerman yang angkanya cukup mencengangkan. Walaupun media “rajin” memberitakan tentang terorisme yang dikaitkan dengan Islam, kekerasan dalam rumah tangga Muslim, dan bom bunuh diri. Islam masuk akal dan memiliki arahan yang jelas. Fakta bahwa para muallaf datang dari kalangan berpendidikan dan intelektual seperti dokter Kai Lühr dan pengacara Nils von Bergner menyatakan Islam adalah agama yang dapat diterima akal. Lain halnya dengan Nils von Bergner, satu dari lebih dari 350 warga Hamburg yang masuk Islam di tahun 2005. Dia punya cerita lain tentang perjalanannya menuju Islam. Ia mengaku sebagai orang yang senantiasa mengimani Tuhan, dan beribadah kepadaNya. “Namun di satu sisi saya tidak merasa bahagia, saya selalu memiliki perasaan bahwa saya membalas kebaikan Tuhan terlalu sedikit,” katanya saat mengisahkan masa lalu perjalanannya menuju Islam. “Dan itulah alasan kenapa saya pernah bertutur, bahwa jika sudah memeluk Islam, saya benar-benar ingin lima kali sehari mengingat dan memanjatkan doa dan mendapatkan kesempatan untuk berterimakasih kepada Tuhan.”
Jerman ternyata memiliki lebih banyak penduduk Muslim daripada yang diperkirakan sebelumnya dengan hampir separuh dari mereka memiliki kewarganegaraan Jerman sehingga dapat ikut memberikan suara dalam pemilu. Muslim di Jerman adalah minoritas terbesar di negara tersebut dan terbesar kedua di Eropa setelah Perancis. Meskipun mereka telah berimigrasi ke Jerman sejak 1960an. Muslim Jerman terus menderita berbagai problem sosial, seperti pengangguran, kurangnya pendidikan dan perwakilan politik. Mayoritas umat Muslim Jerman taat sekali dalam menjalankan ajaran agamanya namun mereka menghadapi sejumlah penghalang dalam integrasi sosial akibat adanya aturan-aturan seperti pemisahan laki-laki dan perempuan serta akomodasi religius di sekolah. Meskipun lebih dari separuh Muslim yang disurvei adalah anggota sejumlah organisasi, seperti klub olahraga atau perkumpulan orangtua, bukanlah sebuah indikasi yang cukup kuat akan adanya integrasi sosial ketika banyak Muslim yang menjadikan sekolah-sekolah umum di Jerman sebagai kekhawatiran utama mereka. Kurangnya akomodasi keagamaan di kelas-kelas agama dan digabungnya siswa laki-laki dan perempuan dalam satu kelas adalah dua dari sejumlah isu utama yang dihadapi generasi muda Muslim di Jerman. Menyerukan lebih banyak kesetaraan hukum bagi Muslim Jerman dan penguasaan bahasa Jerman sebagai faktor-faktor utama penjamin integrasi kaum agama minoritas. Muslim harus memiliki hak-hak yang sama karena negara kita menjamin kebebasan beragama dan hal itu tidak terbatas pada satu sudut pandang dunia bahwa umat Muslim harus menerima konstitusi demokratis "tanpa syarat".
Wolfgang von Goethe
Pada tahun 1739, raja Friedrich Wilhelm I- mendirikan sebuah masjid di kota Potsdam untuk tentaranya yang beragama islam, mereka disebut dengan nama ” pasukan Muhammadaner”. Pada zaman itu, kaum muslim di Jerman selain menjadi tentara, mereka juga banyak yang menjadi pedagang, diplomat, ilmuwan, dan penulis. Pada saat Perang Dunia Pertama, Jerman kembali bersekutu dengan tentara muslim dari Kekhalifahan Turki. Hal ini membuat komunitas muslim di Jerman bertambah banyak dan makin menguatkan eksistensinya. Lembaga Muslim Jerman sudah berdiri pada tahun 1930. Antara 1933 dan 1945, tercatat lebih dari tiga ribu warga Jerman beragama Islam, dan tiga ratus di antaranya berdarah etnis Jerman. Namun, pada saat kepemimpinan Hitler dan perang dunia kedua, umat islam terpecah-pecah. Kebebasan beribadah terancam. Sebagian umat islam pergi melarikan diri ke negara balkan. Setelah perang dunia kedua berakhir dengan kekalahan besar yang didapatkan Jerman, hubungan antara Jerman dan umat islam kembali terjalin. Keberadaan Islam di Jerman meningkat pada tahun 1960-an. Umat muslim dari Yugoslavia dan Iran pun berdatangan dan menetap di Jerman. Hal-hal tersebut membuat jumlah penduduk yang beragama Islam di Jerman mencapai lebih dari dua juta jiwa pada awal tahun 1990.
Comments