Dia adalah aktivis yang termasuk dalam peristiwa hilangnya para aktivis dalam peristiwa 27 Juli 1998. Dia hilang bersama belasan pejuang lainnya. Sampai sekarang, kita tidak pernah tahu, apa yang sebenarnya terjadi pada penyair tanpa rasa takut ini. Thukul (begitu sapaan akrabnya) bukanlah seorang kaya raya yang hidup penuh kemewahan. Dia hidup dalam keadaan yang serba sulit. Dia pernah mengamen puisi, berjualan koran, menjadi calo tiket bioskop, dan menjadi tukang pelitur di sebuah usaha mebel. Namun, kemelaratan tidak serta-merta membelenggu hasratnya untuk melakukan perlawanan. Sebaliknya, dia semakin berapi-api untuk menuntut keadilan. Dia beberapa kali memimpin aksi massa untuk menyuarakan suaranya. Dia pernah ikut demonstrasi menentang pencemaran lingkungan yang dilakukan oleh PT Sariwarna, sebuah perusahaan tekstil asli Solo. Dia juga pernah memimpin aksi petani di Ngawi, yang kemudian berbuntut pada aksi pemukulan terhadap dirinya oleh aparat. Tidak hanya itu, Thukul juga harus mengalami luka parah di mata kanannya, karena dihajar oleh aparat ketika memprotes PT Sritex bersama para karyawannya.
Semua kekerasan yang dialamatkan padanya, tidak lantas membuat Thukul menyerah. Dia terus melakukan perlawanan. Aksi protes, puisi kritik, dan karya-karya berani terus dia keluarkan. Hingga akhirnya, pada 27 Juli 1998, dia hilang dan tidak ditemukan sampai sekarang. Jasadnya boleh hilang. Wujudnya boleh jadi tinggal sepotong foto dengan mata kanan yang terluka. Namun, semangatnya masih terus hidup bersama para sastrawan masa kini. Di zamannya, dia telah melakukan hal-hal besar yang seharusnya dilakukan oleh sastrawan kritis. Puisinya bukan melulu soal cinta yang menentramkan. Bukan pula soal Tuhan dan segala pertanyaan tentangNya. Puisinya adalah lambang perlawanan, keberanian, dan semangat untuk tidak tinggal diam dalam cengkeraman tirani.
Widji Thukul, bernama asli Widji Widodo, lahir di kampung Sorogenen Solo, 26 Agustus 1963 dari keluarga tukang becak. Mulai menulis puisi sejak SD, dan tertarik pada dunia teater ketika duduk di bangku SMP. Bersama kelompok Teater Jagat, ia pernah ngamen puisi keluar masuk kampung dan kota. Sempat pula menyambung hidupnya dengan berjualan koran, jadi calo karcis bioskop, dan menjadi tukang pelitur di sebuah perusahaan mebel. Pendidikan tertinggi Thukul Sekolah Menengah Karawitan Indonesia (SMKI) jurusan tari sampai kelas dua lantaran kesulitan uang. Kendati hidup sulit, ia aktif menyelenggarakan kegiatan teater dan melukis dengan anak-anak kampung Kalangan, tempat ia dan anak istrinya tinggal.
Lalu muncullah peristiwa kekacauan 27 Juli 1996. Thukul, Budiman Sujatmiko, dan Pius Lustri Lanang menjadi buronan utama pemerintah. Hal ini cukup mengejutkan dan kurang jelas hingga sekarang, karena Thukul sesungguhnya bukan pada 'kaliber' kedua buronan yang lain. Artinya, Budiman dan Pius sudah jadi aktivis taraf nasional, sementara Thukul hanyalah seniman lokal yang potensi ancamannya pada pemerintah tak begitu besar. Sejak itu, Budiman ditahan, diadili, dan dipenjarakan; Pius diculik orangnya Tim Mawar, Kopassus (Kopassus saat itu dipimpin oleh Prabowo Subianto sebagai komandan) ; sedangkan Tukul hilang – konon juga dihilangkan oleh Tim Mawar Kopassus. Secara resmi, Thukul masuk daftar orang hilang pada tahun 2000.
Pada 1992 ia ikut demonstrasi memprotes pencemaran lingkungan oleh pabrik tekstil PT Sariwarna Asli Solo. Tahun-tahun berikutnya Thukul aktif di Jaringan Kerja Kesenian Rakyat (Jakker). Tahun 1995 mengalami cedera mata kanan karena dibenturkan pada mobil oleh aparat sewaktu ikut dalam aksi protes karyawan PT Sritex. Peristiwa 27 Juli 1998 menghilangkan jejaknya hingga saat ini. Ia salah seorang dari belasan aktivis korban penculikan yang terutama diduga didalangi oleh Jenderal Prabowo Subianto.
April 2000, istri Thukul, Sipon melaporkan suaminya yang hilang ke Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras). Forum Sastra Surakarta (FSS) yang dimotori penyair Sosiawan Leak dan Wowok Hesti Prabowo mengadakan sebuah forum solidaritas atas hilangnya Thukul berjudul "Thukul, Pulanglah" yang diadakan di Surabaya, Mojokerto, Solo, Semarang, Yogyakarta, dan Jakarta. Prestasi dan penghargaan; 1989, ia diundang membaca puisi di Kedubes Jerman di Jakarta oleh Goethe Institut. 1991, ia tampil ngamen puisi pada Pasar Malam Puisi (Erasmus Huis; Pusat Kebudayaan Belanda, Jakarta). 1991, ia memperoleh Wertheim Encourage Award yang diberikan Wertheim Stichting, Belanda, bersama WS Rendra. 2002, dianugerahi penghargaan "Yap Thiam Hien Award 2002". 2002, sebuah film dokumenter tentang Widji Thukul dibuat oleh Tinuk Yampolsky.
Wiji Thukul berpendapat sajak harus bertolak dari data. Menurut dia, kebanyakan sajak Indonesia tak bertolak dari pengamatan sosial. Sikap seperti itu makin kuat setelah ia memimpin Jaker. Di sana, ia bertemu dengan banyak seniman prodemokrasi lain, seperti Moelyono dan Semsar Siahaan. Ia mengikuti rapat dan diskusi. Ia membaca Paulo Freire dan Ivan Illich tentang pendidikan yang membebaskan. Ia mengikuti strategi Augusto Boal, seniman Brasil yang menggunakan teater sebagai alat menghancurkan budaya bisu– budaya yang membuat rakyat tak berani berbicara apa adanya. Pada ketika yang lain, Thukul bisa menjengkelkan. Pada forum yang bukan diperuntukkan buat politik, ia bertanya soal politik.
Apa yang telah dilakukan oleh Wiji Thukul pada akhirnya telah menginspirasi banyak orang untuk mulai berani mengritik pemimpinnya. Sebab selama puluhan tahun, nyaris tidak ada sebuah ruang untuk melawan. Lewat puisi-puisinya, Wiji Thukul mencoba memerlihatkan bahwa perubahan kea rah yang lebih baik harus selalu diperjuangkan walau terkadang ada sesuatu yang harus dikorbankan. Ya, satu kata kunci yaitu pengorbanan. Sesuatu yang telah diberikan Wiji Thukul demi membebaskan bangsa Indonesia dari pemerintahan yang otoriter. Dengan segala apa yang telah Wiji Thukul berikan, maka pantas apabila kita menyabut bahwa Wiji Thukul adalah seorang pahlawan, atau lebih tepatnya Pahlawan Reformasi.
Referensi
http://sastranesia.com/biografi-singkat-widji-thukul/
http://lorongsastra.blogspot.co.id/2012/06/biografi-widji-thukul.html
Comments