Gajah Mada ialah salah satu Patih, kemudian Mahapatih, Majapahit yang mengantarkan Majapahit ke puncak kejayaannya. Tidak diketahui sumber sejarah mengenai kapan dan di mana Gajah Mada lahir. Ia memulai karirnya di Majapahit sebagai bekel. Karena berhasil menyelamatkan Prabu Jayanagara (1309-1328) dan mengatasi Pemberontakan Ra Kuti, ia diangkat sebagai Patih Kahuripan pada 1319. Dua tahun kemudian ia diangkat sebagai Patih Kediri.
Pada tahun 1329, Patih Majapahit yakni Aryo Tadah (Mpu Krewes) ingin mengundurkan diri dari jabatannya. Ia menunjuk Patih Gajah Mada dari Kediri sebagai penggantinya. Patih Gajah Mada sendiri tak langsung menyetujui. Ia ingin membuat jasa dahulu pada Majapahit dengan menaklukkan Keta dan Sadeng yang saat itu sedang melakukan pemberotakan terhadap Majapahit. Keta & Sadeng pun akhirnya takluk. Patih Gajah Mada kemudian diangkat secara resmi oleh Ratu Tribhuwanatunggadewi sebagai patih di Majapahit (1334)
Penulis seperti Leo Suryadinata mengakui, awal sejarah hidup Gajah Mada tidak jelas. Namun, Encarta Encylopedia memperkirakan Gajah Mada lahir 1290 M. Jadi, ia lahir – dan besar – saat terjadi transisi politik dari Raden Wijaya (Raja Majapahit pertama) kepada Jayanagara. Ketidakjelasan ini pun dipicu pula oleh kecenderungan penulisan tokoh Gajah Mada yang kerap dihubungkan dengan dimensi supernatural. Penghubungan ini sulit dihindari karena masyarakat Indonesia menilai tinggi dimensi tersebut. Namun, upaya penyingkapan jatidiri Gajah Mada hendaklah menghindari pencampuadukan ini. Juga terdapat pendapat menyebut Gajah Mada turunan Mongol. Ia terlahir sebagai anak anggota pasukan Mongol yang menetap di Jawa dan lalu menikahi perempuan lokal. Argumentasi ini dibuat karena periode kelahiran Gajah Mada berlingkup penyerangan Majapahit oleh Dinasti Yuan, dinasti Cina keturunan Mongol.
Suryadinata lebih lanjut menulis, Gajah Mada mengandalkan intelijensi, keberanian, dan loyalitas dalam mobilitas vertikalnya. Karir lanjutannya kepala pasukan Bhayangkara, pasukan penjaga keamanan Raja dan keluarga. Saat itu, raja patronnya Jayanagara, berkuasa di Majapahit 1309-1328 M. Dengan demikian, Gajah Mada tentu tengah meniti karir militer level bawah sejak era Raden Wijaya, raja pertama Majapahit.
Jayanagara putra Raden Wijaya dengan putri Sumatera (Jambi), Dara Petak. Sebab itu, darah di tubuh Jayanagara bukanlah pure Jawa. Anggapan primordial ini adalah anggapan umum kancah politik multinasional saat itu. Anggapan ini sulit dihindari karena nusantara telah berupa lintasan dagang aneka bangsa. Resistensi kembangan masalah primordial ini ditandai pecahnya pemberontakan Nambi 1316 M. Menurut gimonca.com, Nambi memberontak salah satunya akibat sentimen darah Jayanagara ini. Meski berhasil dipadamkan, pemberontakan tersebut menandai latensi masalah primordial dalam politik Majapahit.
Saat Gajah Mada menjabat kepala pasukan Bhayangkara, meletus pemberontakan Ra Kuti, seorang pejabat Majapahit, 1319 M. Pemberontakannya menohok politik pusat karena mampu menduduki ibukota. Jayanagara berikut para istri Raden Wijaya dan putrinya (Tribhuwanattungadewi, Dyah Gayatri, Dyah Wiyat, dan Pradnya Paramita) mengungsi ke Bedander. Sebagai kepala Bhayangkara, Gajah Mada memastikan keamanan raja dan keluarga. Setelah situasi dinyatakan save, ia berbalik ke ibukota menyusun serangan balasan. Dalam pemastian, Gajah Mada menyelidiki kesetiaan rakyat dan pejabat Majapahit pada Jayanagara. Ia memancing dengan isu terbunuhnya Jayanegara.
Penulis seperti Leo Suryadinata mengakui, awal sejarah hidup Gajah Mada tidak jelas. Namun, Encarta Encylopedia memperkirakan Gajah Mada lahir 1290 M. Jadi, ia lahir – dan besar – saat terjadi transisi politik dari Raden Wijaya (Raja Majapahit pertama) kepada Jayanagara. Ketidakjelasan ini pun dipicu pula oleh kecenderungan penulisan tokoh Gajah Mada yang kerap dihubungkan dengan dimensi supernatural. Penghubungan ini sulit dihindari karena masyarakat Indonesia menilai tinggi dimensi tersebut. Namun, upaya penyingkapan jatidiri Gajah Mada hendaklah menghindari pencampuadukan ini. Juga terdapat pendapat menyebut Gajah Mada turunan Mongol. Ia terlahir sebagai anak anggota pasukan Mongol yang menetap di Jawa dan lalu menikahi perempuan lokal. Argumentasi ini dibuat karena periode kelahiran Gajah Mada berlingkup penyerangan Majapahit oleh Dinasti Yuan, dinasti Cina keturunan Mongol.
Suryadinata lebih lanjut menulis, Gajah Mada mengandalkan intelijensi, keberanian, dan loyalitas dalam mobilitas vertikalnya. Karir lanjutannya kepala pasukan Bhayangkara, pasukan penjaga keamanan Raja dan keluarga. Saat itu, raja patronnya Jayanagara, berkuasa di Majapahit 1309-1328 M. Dengan demikian, Gajah Mada tentu tengah meniti karir militer level bawah sejak era Raden Wijaya, raja pertama Majapahit.
Jayanagara putra Raden Wijaya dengan putri Sumatera (Jambi), Dara Petak. Sebab itu, darah di tubuh Jayanagara bukanlah pure Jawa. Anggapan primordial ini adalah anggapan umum kancah politik multinasional saat itu. Anggapan ini sulit dihindari karena nusantara telah berupa lintasan dagang aneka bangsa. Resistensi kembangan masalah primordial ini ditandai pecahnya pemberontakan Nambi 1316 M. Menurut gimonca.com, Nambi memberontak salah satunya akibat sentimen darah Jayanagara ini. Meski berhasil dipadamkan, pemberontakan tersebut menandai latensi masalah primordial dalam politik Majapahit.
Saat Gajah Mada menjabat kepala pasukan Bhayangkara, meletus pemberontakan Ra Kuti, seorang pejabat Majapahit, 1319 M. Pemberontakannya menohok politik pusat karena mampu menduduki ibukota. Jayanagara berikut para istri Raden Wijaya dan putrinya (Tribhuwanattungadewi, Dyah Gayatri, Dyah Wiyat, dan Pradnya Paramita) mengungsi ke Bedander. Sebagai kepala Bhayangkara, Gajah Mada memastikan keamanan raja dan keluarga. Setelah situasi dinyatakan save, ia berbalik ke ibukota menyusun serangan balasan. Dalam pemastian, Gajah Mada menyelidiki kesetiaan rakyat dan pejabat Majapahit pada Jayanagara. Ia memancing dengan isu terbunuhnya Jayanegara.
Ternyata rakyat dan sebagian besar pejabat Majapahit menyayangkan kematian raja dan membenci Ra Kuti. Atas dasar ini, Gajah Mada menyusun serangan militer balasan lalu berhasil membalik keadaan. Pemberontakan Kuti pun padam. Raja dan keluarganya kembali ke ibukota. Saat kembali memerintah, Jayanagara ditopang kemampuan politik Arya Tadah, mahapatih Majapahit. Fokus kebijakan raja dan mahapatih adalah stabilitas politik dalam negeri. Jadi, Majapahit belum melakukan penaklukan ke pulau-pulau luar Jawa. Gajah Mada belum memegang peran penting di dalam pembuatan keputusan politik level pusat.
Atas jasanya memadamkan pemberontakan Kuti, Jayanagara menaikan jabatan Gajah Mada dari komandan pasukan Bhayangkara menjadi menteri wilayah (patih) dua wilayah Majapahit: Daha, lalu Jenggala. Posisi tersebut berpengaruh mengingat keduanya diwenangi putri Tribuwanattunggadewi (Daha) dan Dyah Wiyat (Jenggala), dua saudari tiri Jayanagara. Jayanagara belum memiliki putra laki-laki sebagai penerus tahta. Loyalitas Gajah Mada atas Jayanagara fluktuatif. Fluktuasi loyalitas ini berkisar pada tiga motif pribadi. Pertama, Charles Kimball menulis loyalitas Gajah Mada terhadap Jayanagara menurun akibat raja mengambil istri Gajah Mada selaku haremnya. Kedua, Kitab Negara Kertagama olahan Empu Prapanca menulis, perubahan loyalitas Gajah Mada akibat Jayanagara mulai jatuh hati pada dua saudari tirinya: Tribuwanattunggadewi dan Dyah Wiyat. Empu Prapanca ini akrab dengan Gajah Mada. Ketiga, novelis Langit Kresna Hariyadi, menulis loyalitas Gajah Mada terhadap Jayanagara berubah akibat Gajah Mada khawatir atas perubahan sikap raja pada Tribhuwanattunggadewi.
Ketiga asumsi tersebut membayangi proses meninggalnya Jayanagara 1328 M. Versi Kimball menyebut Gajah Mada menskenario pembunuhan atas Jayanagara lewat Ra Tanca, tabib istana. Tanca dipaksa membunuh Jayanagara saat ia melakukan operasi pembedahan atas raja akibatpenyakit bengkak yang dideritanya. Setelah raja meninggal, Gajah Mada menuding Tanca telah membunuh raja lalu mengeksekusi tabib tersebut. Kemelut ini terjadi 1328 M dan menggambarkan intrik politik istana: Kepentingan pribadi berbaur dengan nasib sebuah kerajaan. Setelah Jayanegara meninggal, Gajah Mada berkeras Tribhuwanattunggadewi harus dijadikan pengganti. Gajah Mada khawatir singgasana akan jatuh ke tangan Arya Damar, sepupu Jayanegara dari garis ibu (putri Mauliwarmadewa raja Darmaçraya). Jika hal tersebut terjadi, Majapahit mungkin kembali dirundung pemberontakan seperti Nambi dahulu. Tribhuwanattunggadewi (aka Sri Gitarja) putri Raden Wijaya dari Gayatri (putri Kertanegara, raja terakhir Singasari). Mungkin saja, opini yang muncul saat itu adalah putra pribumi atau bukan. Juga mungkin pula peralihan kekuasaan pada ratu, membuat Gajah Mada lebih leluasa mengambil tindakan politik di kemudian hari. Mulai periode Ratu inilah ekspansi Majapahit berawal.
Setelah Mahapatih Arya Tadah pensiun 1329 M, praktis posisinya jatuh ke tangan Gajah Mada. Tribhuwanattunggadewi mendukung rencana strategis Gajah Mada. Tahun 1331 M meletus pemberontakan Sadeng dan Keta, di timur Pulau Jawa. Gajah Mada mengirim ekspedisi militer ke sana. Secara politik dan militer, Ra Kembar – bangsawan sekaligus pejabat Majapahit – berusaha menutup jalan masuk pasukan Gajah Mada ke Sadeng. Dengan kekuatan militer, blokade berhasil ditembus dan upaya memasukkan kembali kedua wilayah terbuka lebar. Setelah memadamkan pemberontakan Sadeng dan Keta inilah, Gajah Mada diangkat sebagai Mahapatih. Bunyi sumpah Gajah Mada saat dilantik jadi Mahapatih dikenal sebagai Sumpah Palapa, bunyinya terekam dalam Kitab Pararaton sebagai berikut: Sira Gajah Mada pepatih amungkubumi tan ayun amukti palapa, sira Gajah Mada: Lamun huwus kalah nusantara ingsun amukti palapa, lamun kalah ring Gurun, ring Seram, Tañjungpura, ring Haru, ring Pahang, Dompu, ring Bali, Sunda, Palembang, Tumasik, samana ingsun amukti palapa. Sumpah tersebut disambut olok-olok para menteri Majapahit semisal Ra Kembar, Ra Banyak, Jabung Terawas, dan Lembu Peteng. Peristiwa ini terjadi tahun 1331 M, di mana Ra Kembar dan Ra Banyak – dalam tempo tidak terlalu lama – dimutasi oleh ratu lalu dieksekusi.
Hayam Wuruk hadir sebagai buah pernikahan Tribhuwanattunggadewi dengan Wikramawardhana, seorang bangsawan Majapahit. Suksesi lanjutan Majapahit predictable. Stabilitas politik memungkinkan adanya fokus atas politik ekspansi. Tahun 1343 M, Gajah Mada memasuki Bali. Ekspansi ke Bali bukan yang pertama terjadi. Sebelumnya, Raja Kertanegara (Singasari) melakukannya 1284 M. Ekspedisi Gajah Mada ke Bali dikenal sebagai Ekspedisi Bedahulu.
Di Bali saat itu berkuasa raja Bhatara Sri Astasura Ratna Bhumi Banten, sejak 1337 M. Raja Bali ini punya panglima perang bernama Amangkubumi Paranggrigis. Dalam aktivitasnya, Paranggrigis punya seorang pembantu bernama Kebo Iwa, asal desa Belahbatuh. Menurut strategi Gajah Mada, Kebo Iwa ini harus terlebih dulu diatasi untuk melemahkan Bali. Sebelum diekspansi secara militer, Gajah Mada melakukan diplomasi dengan Bali. Ratu menulis surat berisikan tawaran persahabatan dari Majapahit yang dibawa Gajah Mada. Amangkubumi Paranggrigis lalu turun tangan secara langsung menggantikan Kebo Iwa dalam memimpin positioning Bali atas Majapahit. Untuk itu, ia mengumpulkan sejumlah tokoh Bali untuk menentukan sikap Bali atas aksi Majapahit. Suara bulat dicapai, Bali tidak akan tunduk. Tahun 1334 M, barulah Gajah Mada membawa ekspedisi militernya ke Bali. Dalam ekspedisi, ikut serta Arya Damar (atau Adityawarman) yang memangku jabatan panglima perang. Setelah serangan Majapahit, Bali mengalami vacuum of power.
Orang berpengaruh di Bali yang masih Patih Ulung. Namun, patih ini tidak mampu menguasai keadaan. Sebab itu, ia bersama dua keluarganya, Arya Pemacekan dan Arya Pemasekan, datang menghadap Ratu Tribhuwanattungadewi agar mengangkat otoritas Majapahit di Bali. Tribhuwanattungadewi (kemungkinan konsultasi dengan Gajah Mada) mengangkat Sri Kresna Kepakisan, turunan Bali Aga, selaku otoritas Majapahit. Bali Aga adalah penduduk Bali pegunungan, yang kerap dipisahkan dengan Bali Mula (orang Bali asli). Strategi politik yang terbaca adalah memecah dan menyeimbangkan kekuatan antarkelompok di dalam Bali. Di era yang sama, Gajah Mada memimpin penaklukan Lombok.
Seperti telah disebut, dalam Ekspedisi Bedahulu 1333-1334 M, Gajah Mada disertai Adityawarman. Sejak kecil, Adityawarman dipelihara di lingkungan Majapahit. Adityawarman lalu diangkat menjadi otoritas Majapahit di Sumatera (wilayah bekas Sriwijaya). Setelah penaklukan Gajah Mada usai, ia diangkat sebagai vassal Majapahit berkedudukan di Jambi. Adityawarman masih merupakan saudara Jayanagara, raja Majapahit sebelumnya.
Saat menjadi vassal, Adityawarman memperluas wilayah ke arah barat, Minangkabau. Di sana ia memerintah atas nama Majapahit. Penaklukan diteruskan hingga Samudera Pasai, termasuk ke dalamnya, Tumasik (Singapura), Bintan, Borneo (Kalimantan), termasuk Burni (Brunei). Penaklukan Gajah Mada lebih terarah ke timur. Perluasannya meliputi Logajah, Gurun, Seram, Hutankadali, Sasak, Makassar, Buton, Banggai, Kunir, Galiyan, Salayar, Sumba, Muar (Saparua), Solor, Bima, Wandan (Banda), Ambon, Timor, dan Dompo. Bahkan sejumlah wilayah Filipina selatan juga masuk ke dalam Majapahit. Sebagian besar perluasan mengandalkan kekuatan maritim, yang untuk itu, Gajah Mada punya andalannya sendiri, Panglima Angkatan Laut Nala.
Pada tahun 1350 M, Tribhuwanattunggadewi lengser keprabon mandeg pandito. Ratu digantikan putranya, Hayam Wuruk yang berkuasa 1350–1389 M. Kebijakan Majapahit di bawah Hayam Wuruk lebih berorientasi stabilitas internal, termasuk mencari permaisuri bagi kelangsungan suksesi politik. Politik ekspansionis Gajah Mada berakhir di masa Hayam Wuruk. Raja baru ini menempatkan pembangunan candi, pengelolaan politik dalam negeri, dan pemadaman pemberontakan yang terjadi wilayah-wilayah perluasan sebagai prioritas kebijakan.
Tahun 1351 M, Hayam Wuruk menghasrati Dyah Pitaloka dari Sunda Galuh sebagai permaisuri. Kerajaan tersebut ada di barat Majapahit yang belum sepenuhnya tunduk pada Majapahit karena faktor tertentu. Di sisi lain, Raja Sunda Galuh melihat, jika putrinya diambil selaku permaisuri, maka aliansi politik setara (mungkin akibat hubungan keluarga) antara Sunda Galuh dan Majapahit tercipta. Datanglah rombongan besan dari Sunda Galuh, terdiri atas raja, kaum bangsawan, dan sejumlah kecil pengawal. Mereka berkemah di lapangan Bubat, pedataran luas di lingkungan ibukota Majapahit. Terjadi negosiasi antara Gajah Mada dengan Raja Sunda Galuh seputar status Sunda Galuh pasca pernikahan tersebut, di mana muncul perbedaan asumsi antara keduanya: Taklukan atau Aliansi. Gajah Mada melihat potensi pembangkangan sebuah wilayah yang seharusnya tunduk pada Majapahit. Raja Sunda Galuh mendebat keinginan Gajah Mada dan memutuskan angkat senjata jika penaklukanlah yang Majapahit harapkan. Gajah Mada mengerahkan pasukan menyerang tamu tersebut. Terjadilah tragedi Bubat yang terkenal itu. Pertempuran tidak berimbang. Seluruh rombongan Sunda Galuh, termasuk raja dan putri Dyah Pitaloka, menemui ajal.
Hayam Wuruk kecewa dengan peristiwa Bubat. Ada beberapa tulisan yang memuat kekecewaan \ Hayam Wuruk yang muncul akibat lewat sejumlah asumsi. Hayam Wuruk yang masih muda, tentu berdarah panas dan tatkala itu sedang kasmaran dengan putri Sunda. Atau, nilai sportivitas ksatria mudanya terpancing, mengingat pertarungan dua anasir tidaklah sepadan. Juga, Hayam Wuruk menganggap bahwa pertikaian yang disulut Gajah Mada adalah pertikaian antarkeluarga. Pararaton menyebut, pasca insiden Bubat Gajah Mada tetap menjalankan fungsi sebagai Patih Majapahit hingga meninggalnya tahun 1364 M. Namun, ada pula yang menyebut Gajah Mada segera dimutasi ke Madakaripura. Di sana Gajah Mada hidup asketis hingga meninggal 1364 M, tanpa diketahui prosesnya. Satu hal yang pasti: Politik ekspansionis Majapahit usai. Setelah tragedi Bubat, Hayam Wuruk mengarahkan politiknya pada stabilitas dalam negeri. Memang muncul beberapa pemberontakan di pulau luar seperti dari Palembang, yang minta bantuan Kekaisaran Cina untuk mengimbangi kuasa Majapahit. Namun, begitu pasukan Cina datang ke Palembang, wilayah itu sudah ditangani pasukan Majapahit dan ekspedisi Cina dipukul mundur.
Apapun alasannya, Gajah Mada sosok politisi militer yang kuat. Sejumlah tulisan menyebut Hayam Wuruk kerepotan saat mencari pengganti Gajah Mada yang serba bisa itu. Rajasanagara harus mengangkat sekurangnya empat menteri baru guna mengisi posisi Gajah Mada, yang sebelum itu terjadi, terpaksa memerintah sendiri Majapahit kurang lebih tiga tahun. Akhirnya, Hayam Wuruk mengangkat Gadjah Enggon selaku patih tahun 1367. Tiada pula, untuk sementara ini, ditemukan kabar apakah Gajah Mada punya keturunan. Butuh sebuah riset yang ditopang dana besar pemerintah Indonesia untuk mengangkat kisah Gajah Mada secara utuh. Pasca meninggalnya Gadjah Mada vassal Majapahit – kerajaan Sriwijaya (aka San fo-ts’i) – pecah menjadi tiga yaitu Palembang, Dharmaçraya dan Pagarruyung (aka Minangkabau) tahun 1371. Kerajaan Tanjung Pura di Borneo mengadakan hubungan luar negeri secara bebas dengan Tiongkok, tanpa melalui Majapahit lagi.
Ketiga asumsi tersebut membayangi proses meninggalnya Jayanagara 1328 M. Versi Kimball menyebut Gajah Mada menskenario pembunuhan atas Jayanagara lewat Ra Tanca, tabib istana. Tanca dipaksa membunuh Jayanagara saat ia melakukan operasi pembedahan atas raja akibatpenyakit bengkak yang dideritanya. Setelah raja meninggal, Gajah Mada menuding Tanca telah membunuh raja lalu mengeksekusi tabib tersebut. Kemelut ini terjadi 1328 M dan menggambarkan intrik politik istana: Kepentingan pribadi berbaur dengan nasib sebuah kerajaan. Setelah Jayanegara meninggal, Gajah Mada berkeras Tribhuwanattunggadewi harus dijadikan pengganti. Gajah Mada khawatir singgasana akan jatuh ke tangan Arya Damar, sepupu Jayanegara dari garis ibu (putri Mauliwarmadewa raja Darmaçraya). Jika hal tersebut terjadi, Majapahit mungkin kembali dirundung pemberontakan seperti Nambi dahulu. Tribhuwanattunggadewi (aka Sri Gitarja) putri Raden Wijaya dari Gayatri (putri Kertanegara, raja terakhir Singasari). Mungkin saja, opini yang muncul saat itu adalah putra pribumi atau bukan. Juga mungkin pula peralihan kekuasaan pada ratu, membuat Gajah Mada lebih leluasa mengambil tindakan politik di kemudian hari. Mulai periode Ratu inilah ekspansi Majapahit berawal.
Setelah Mahapatih Arya Tadah pensiun 1329 M, praktis posisinya jatuh ke tangan Gajah Mada. Tribhuwanattunggadewi mendukung rencana strategis Gajah Mada. Tahun 1331 M meletus pemberontakan Sadeng dan Keta, di timur Pulau Jawa. Gajah Mada mengirim ekspedisi militer ke sana. Secara politik dan militer, Ra Kembar – bangsawan sekaligus pejabat Majapahit – berusaha menutup jalan masuk pasukan Gajah Mada ke Sadeng. Dengan kekuatan militer, blokade berhasil ditembus dan upaya memasukkan kembali kedua wilayah terbuka lebar. Setelah memadamkan pemberontakan Sadeng dan Keta inilah, Gajah Mada diangkat sebagai Mahapatih. Bunyi sumpah Gajah Mada saat dilantik jadi Mahapatih dikenal sebagai Sumpah Palapa, bunyinya terekam dalam Kitab Pararaton sebagai berikut: Sira Gajah Mada pepatih amungkubumi tan ayun amukti palapa, sira Gajah Mada: Lamun huwus kalah nusantara ingsun amukti palapa, lamun kalah ring Gurun, ring Seram, Tañjungpura, ring Haru, ring Pahang, Dompu, ring Bali, Sunda, Palembang, Tumasik, samana ingsun amukti palapa. Sumpah tersebut disambut olok-olok para menteri Majapahit semisal Ra Kembar, Ra Banyak, Jabung Terawas, dan Lembu Peteng. Peristiwa ini terjadi tahun 1331 M, di mana Ra Kembar dan Ra Banyak – dalam tempo tidak terlalu lama – dimutasi oleh ratu lalu dieksekusi.
Hayam Wuruk hadir sebagai buah pernikahan Tribhuwanattunggadewi dengan Wikramawardhana, seorang bangsawan Majapahit. Suksesi lanjutan Majapahit predictable. Stabilitas politik memungkinkan adanya fokus atas politik ekspansi. Tahun 1343 M, Gajah Mada memasuki Bali. Ekspansi ke Bali bukan yang pertama terjadi. Sebelumnya, Raja Kertanegara (Singasari) melakukannya 1284 M. Ekspedisi Gajah Mada ke Bali dikenal sebagai Ekspedisi Bedahulu.
Di Bali saat itu berkuasa raja Bhatara Sri Astasura Ratna Bhumi Banten, sejak 1337 M. Raja Bali ini punya panglima perang bernama Amangkubumi Paranggrigis. Dalam aktivitasnya, Paranggrigis punya seorang pembantu bernama Kebo Iwa, asal desa Belahbatuh. Menurut strategi Gajah Mada, Kebo Iwa ini harus terlebih dulu diatasi untuk melemahkan Bali. Sebelum diekspansi secara militer, Gajah Mada melakukan diplomasi dengan Bali. Ratu menulis surat berisikan tawaran persahabatan dari Majapahit yang dibawa Gajah Mada. Amangkubumi Paranggrigis lalu turun tangan secara langsung menggantikan Kebo Iwa dalam memimpin positioning Bali atas Majapahit. Untuk itu, ia mengumpulkan sejumlah tokoh Bali untuk menentukan sikap Bali atas aksi Majapahit. Suara bulat dicapai, Bali tidak akan tunduk. Tahun 1334 M, barulah Gajah Mada membawa ekspedisi militernya ke Bali. Dalam ekspedisi, ikut serta Arya Damar (atau Adityawarman) yang memangku jabatan panglima perang. Setelah serangan Majapahit, Bali mengalami vacuum of power.
Orang berpengaruh di Bali yang masih Patih Ulung. Namun, patih ini tidak mampu menguasai keadaan. Sebab itu, ia bersama dua keluarganya, Arya Pemacekan dan Arya Pemasekan, datang menghadap Ratu Tribhuwanattungadewi agar mengangkat otoritas Majapahit di Bali. Tribhuwanattungadewi (kemungkinan konsultasi dengan Gajah Mada) mengangkat Sri Kresna Kepakisan, turunan Bali Aga, selaku otoritas Majapahit. Bali Aga adalah penduduk Bali pegunungan, yang kerap dipisahkan dengan Bali Mula (orang Bali asli). Strategi politik yang terbaca adalah memecah dan menyeimbangkan kekuatan antarkelompok di dalam Bali. Di era yang sama, Gajah Mada memimpin penaklukan Lombok.
Seperti telah disebut, dalam Ekspedisi Bedahulu 1333-1334 M, Gajah Mada disertai Adityawarman. Sejak kecil, Adityawarman dipelihara di lingkungan Majapahit. Adityawarman lalu diangkat menjadi otoritas Majapahit di Sumatera (wilayah bekas Sriwijaya). Setelah penaklukan Gajah Mada usai, ia diangkat sebagai vassal Majapahit berkedudukan di Jambi. Adityawarman masih merupakan saudara Jayanagara, raja Majapahit sebelumnya.
Saat menjadi vassal, Adityawarman memperluas wilayah ke arah barat, Minangkabau. Di sana ia memerintah atas nama Majapahit. Penaklukan diteruskan hingga Samudera Pasai, termasuk ke dalamnya, Tumasik (Singapura), Bintan, Borneo (Kalimantan), termasuk Burni (Brunei). Penaklukan Gajah Mada lebih terarah ke timur. Perluasannya meliputi Logajah, Gurun, Seram, Hutankadali, Sasak, Makassar, Buton, Banggai, Kunir, Galiyan, Salayar, Sumba, Muar (Saparua), Solor, Bima, Wandan (Banda), Ambon, Timor, dan Dompo. Bahkan sejumlah wilayah Filipina selatan juga masuk ke dalam Majapahit. Sebagian besar perluasan mengandalkan kekuatan maritim, yang untuk itu, Gajah Mada punya andalannya sendiri, Panglima Angkatan Laut Nala.
Pada tahun 1350 M, Tribhuwanattunggadewi lengser keprabon mandeg pandito. Ratu digantikan putranya, Hayam Wuruk yang berkuasa 1350–1389 M. Kebijakan Majapahit di bawah Hayam Wuruk lebih berorientasi stabilitas internal, termasuk mencari permaisuri bagi kelangsungan suksesi politik. Politik ekspansionis Gajah Mada berakhir di masa Hayam Wuruk. Raja baru ini menempatkan pembangunan candi, pengelolaan politik dalam negeri, dan pemadaman pemberontakan yang terjadi wilayah-wilayah perluasan sebagai prioritas kebijakan.
Tahun 1351 M, Hayam Wuruk menghasrati Dyah Pitaloka dari Sunda Galuh sebagai permaisuri. Kerajaan tersebut ada di barat Majapahit yang belum sepenuhnya tunduk pada Majapahit karena faktor tertentu. Di sisi lain, Raja Sunda Galuh melihat, jika putrinya diambil selaku permaisuri, maka aliansi politik setara (mungkin akibat hubungan keluarga) antara Sunda Galuh dan Majapahit tercipta. Datanglah rombongan besan dari Sunda Galuh, terdiri atas raja, kaum bangsawan, dan sejumlah kecil pengawal. Mereka berkemah di lapangan Bubat, pedataran luas di lingkungan ibukota Majapahit. Terjadi negosiasi antara Gajah Mada dengan Raja Sunda Galuh seputar status Sunda Galuh pasca pernikahan tersebut, di mana muncul perbedaan asumsi antara keduanya: Taklukan atau Aliansi. Gajah Mada melihat potensi pembangkangan sebuah wilayah yang seharusnya tunduk pada Majapahit. Raja Sunda Galuh mendebat keinginan Gajah Mada dan memutuskan angkat senjata jika penaklukanlah yang Majapahit harapkan. Gajah Mada mengerahkan pasukan menyerang tamu tersebut. Terjadilah tragedi Bubat yang terkenal itu. Pertempuran tidak berimbang. Seluruh rombongan Sunda Galuh, termasuk raja dan putri Dyah Pitaloka, menemui ajal.
Hayam Wuruk kecewa dengan peristiwa Bubat. Ada beberapa tulisan yang memuat kekecewaan \ Hayam Wuruk yang muncul akibat lewat sejumlah asumsi. Hayam Wuruk yang masih muda, tentu berdarah panas dan tatkala itu sedang kasmaran dengan putri Sunda. Atau, nilai sportivitas ksatria mudanya terpancing, mengingat pertarungan dua anasir tidaklah sepadan. Juga, Hayam Wuruk menganggap bahwa pertikaian yang disulut Gajah Mada adalah pertikaian antarkeluarga. Pararaton menyebut, pasca insiden Bubat Gajah Mada tetap menjalankan fungsi sebagai Patih Majapahit hingga meninggalnya tahun 1364 M. Namun, ada pula yang menyebut Gajah Mada segera dimutasi ke Madakaripura. Di sana Gajah Mada hidup asketis hingga meninggal 1364 M, tanpa diketahui prosesnya. Satu hal yang pasti: Politik ekspansionis Majapahit usai. Setelah tragedi Bubat, Hayam Wuruk mengarahkan politiknya pada stabilitas dalam negeri. Memang muncul beberapa pemberontakan di pulau luar seperti dari Palembang, yang minta bantuan Kekaisaran Cina untuk mengimbangi kuasa Majapahit. Namun, begitu pasukan Cina datang ke Palembang, wilayah itu sudah ditangani pasukan Majapahit dan ekspedisi Cina dipukul mundur.
Apapun alasannya, Gajah Mada sosok politisi militer yang kuat. Sejumlah tulisan menyebut Hayam Wuruk kerepotan saat mencari pengganti Gajah Mada yang serba bisa itu. Rajasanagara harus mengangkat sekurangnya empat menteri baru guna mengisi posisi Gajah Mada, yang sebelum itu terjadi, terpaksa memerintah sendiri Majapahit kurang lebih tiga tahun. Akhirnya, Hayam Wuruk mengangkat Gadjah Enggon selaku patih tahun 1367. Tiada pula, untuk sementara ini, ditemukan kabar apakah Gajah Mada punya keturunan. Butuh sebuah riset yang ditopang dana besar pemerintah Indonesia untuk mengangkat kisah Gajah Mada secara utuh. Pasca meninggalnya Gadjah Mada vassal Majapahit – kerajaan Sriwijaya (aka San fo-ts’i) – pecah menjadi tiga yaitu Palembang, Dharmaçraya dan Pagarruyung (aka Minangkabau) tahun 1371. Kerajaan Tanjung Pura di Borneo mengadakan hubungan luar negeri secara bebas dengan Tiongkok, tanpa melalui Majapahit lagi.
Comments