Berkaitan erat dengan perkembangan kerajaan Majapahit dan penyebaran ajaran Islam di Tanah Jawa. Dalam beberapa catatan, pengembangan batik banyak dilakukan pada masa-masa kerajaan Mataram, kemudian pada masa kerajaan Solo dan Yogyakarta.
Kesenian batik di Indonesia telah dikenal sejak zaman kerajaan Majapahit dan terus berkembang hingga kerajaan dan raja-raja berikutnya. Kesenian batik secara umum meluas di Indonesia dan secara khusus di pulau Jawa setelah akhir abad ke-XVIII atau awal abad ke-XIX. Teknik batik sendiri telah diketahui lebih sedekad (millennium), kemungkinan berasal dari Mesir kuno atau Sumeria. Teknik batik meluas di beberapa negara di Afrika Barat seperti Nigeria, Cameroon dan Mali, atau di Asia, seperti India, Sri Lanka, Bangladesh, Iran, Thailand, Malaysia dan
Indonesia. Hingga awal abad ke-XX, batik yang dihasilkan semuanya adalah batik tulis. Batik cap baru dikenal setelah Perang Dunia Pertama berakhir atau sekitar tahun 1920. Kesenian batik adalah kesenian gambar di atas kain untuk pakaian yang menjadi salah satu kebudayaan keluarga raja-raja Indonesia di zaman dulu. Awalnya aktiviti membuat batik hanya terbatas dalam keraton saja dan ia dihasilkan untuk pakaian di raja dan keluarga kerajaan serta para pembesar.
Oleh kerana banyak dari pembesar tinggal di luar kraton, maka kesenian batik ini dibawa oleh mereka keluar dari keraton dan dihasilkan pula di tempatnya masing-masing. Lama kelamaan kesenian batik ini ditiru oleh rakyat jelata dan selanjutnya meluas sehingga menjadi pekerjaan kaum wanita dalam rumah tangga mereka untuk mengisi waktu luang. Antara bahan-bahan pewarna yang dipakai adalah terdiri dari tumbuh tumbuhan asli Indonesia yang dibuat sendiri antara lain dari: pohon mengkudu, tinggi, soga, nila, dan bahan sodanya dibuat dari soda abu, serta garamnya dibuat dari tanah lumpur.
Sejarah Motif Batik Banten
Banten merupakan sebuah provinsi yang teletak di paling barat pulau Jawa, berbatasan langsung dengan DKI Jakarta di sebelah barat. Dahulu kala, Banten merupakan salah satu kerajaan Islam di Nusantara yang terletak di muara Sungai Cibanten dan memiliki pelabuhan yang besar dan sibuk di Selat Sunda pada abad ke 16. Banyak pendatang dari luar Nusantara yang datang ke Banten untuk berdagang rempah-rempah, sehingga Banten menjadi terbuka dengan berbagai kebudayaan asing yang masuk. Dengan banyaknya kontak dengan pendatang dari berbagai daerah, maka peradaban di Banten menjadi maju dan kebudayaannya menjadi maju pula. Salah satu contohnya, yaitu pada motif khas yang kini dihadirkan melalui media batik Banten. Menurut Harih Budiarto, batik adalah salah satu jenis tekstil hasil karya bangsa Indonesia yang sudah dikenal sejak dahulu dan sampai sekarang terus bertahan. Jasper dan Pirngadie membuat batasan yang lebih detil, yaitu suatu cara atau teknik penutupan bagian-bagian tertentu pada kain untuk memperoleh gambar atau motif hiasan yang berwarna setelah proses pencelupan. Pengertian Motif dalam Kamus Ilmiah Populer yaitu dasar warna; warna dasar; latar belakang warna; ragam; bentuk; pola; corak. Jadi motif batik merupakan dasar (baik dasar warna ataupun dasar pola atau corak) yang menutupi kain batik. Seperti pengertian batik menurut Hari Budianto di atas, maka motif batik Banten merupakan salah satu hasil karya masyarakat Banten yang sudah dikenal semenjak masa kerajaan Banten berdiri. Suatu warisan budaya yang harus dilestarikan dan dipelajari agar kelak dapat menjadi identitas bahwa bangsa ini dahulu dan sekarang merupakan bangsa yang maju tidak hanya dalam pelayaran namun juga maju dalam pertekstilan.
Sebuah keterangan dihimpun dari Ir. Uke Kurniawan (pemilik serta pengembang Sentral Pelatihan dan Industri Batik Banten), bahwa pada masa kerajaan Banten ada sebuah selimut batik yang dikenal oleh orang-orang Belanda sebagai Brooven Rim Rood, atau biasa dikenal dengan istilah SIMBUT atau Selimut Van Bantam pada abad ke 17. Namun, dengan berakhirnya kejayaan Banten maka hilanglah keberadaan selimut batik dan tradisi membatik di Banten ini.
Ketika kegiatan ekskavasi situs Keraton Surosowan sekitar tahun 1976 dilangsungkan, terdapat temuan-temuan gerabah bermotif yang sangat khas Banten dan tidak ditemukan di tempat lainnya. Motif-motif inilah yang pada akhirnya digunakan sebagai motif asli batik Banten sebagai hasil rekonstruksi arkeologi keberadaan budaya materi masyarakat Banten. Maka dari itu, tujuan penulisan artikel ini dimaksudkan untuk menjawab pertanyaan:Apa saja jenis motif batik Banten dan apa yang menjadi latar belakang motif tersebut kaitannya dengan sejarah masyarakat Banten?
Penulisan artikel ini menggunakan konsep etnoarkeologi. Ada banyak pengertian etnoarkeologi dari berbagai ahli, salah satunya pengertian etnoarkeologi menurut Colin dan Paul Bahn (1991), etnoarkeologi merupakan studi yang mencakup penggunaan maupun makna artefak, bangunan, dan struktur-struktur masa kini dalam suatu masyarakat yang masih hidup, dan bagaimana barang-barang itu tergabung dalam catatan arkeologi. Pengertian ini pula dijadikan landasan teori bagi penulis karena penulisan artikel ini berusaha menganalogikan motif yang dibuat pada masa sekarang dengan masa lalu, ketika motif ini pertama kali digunakan, lalu terkubur ratusan tahun menjadi benda arkeologis hingga saat ini menjadi sebuah tradisi baru yang memiliki unsur lama dan sarat dengan unsur sejarah.
Sebuah Cerita di balik Motif Batik Banten
Tahun 1976, ketika Pusat Penelitian Arkeologi mengadakan penelitian dan ekskavasi di Situs Keraton Surosowan yang merupakan Situs Keraton Kesultanan Banten, ditemukan sejumlah gerabah dan keramik lokal yang berpola hias. Penelitian dan pengamatan yang dilakukan dalam mengungkap keberadaan gerabah dan keramik memperlihatkan adanya pola hias yang dikerjakan dengan beberapa teknik dekorasi. Teknik dekorasi yang diterapkan pada gerabah dan keramik lokal Banten ini antara lain teknik gores, teknik pukul (tatap berukir), teknik tekan (cap dan bukan cap), teknik cubit, dan teknik tempel (dengan cetakan dan tidak dengan cetakan). Lalu pola hias yang ditemukan dari rekonstruksi gerabah dan keramik lokal Banten ini berjumlah 75 pola hias yang merupakan pola hias tunggal dan pola hias gabungan (Hasan Muarif Ambary, dalam artikel Pakaian Tradisional di Daerah Banten).
Peranan gerabah dan keramik lokal Banten ini sangatlah penting bagi masyarakat kala itu. Kegunaannyalah yang menjadikan gerabah dan keramik ini sangat berguna bagi kehidupan keseharian masyarakat Banten sekitar abad ke-18 dan ke-19 M. Sebagai barang kegiatan rumah tangga dan kegiatan industri seperti pembuatan alat logam perunggu dan besi.
Dari ke-75 motif hias yang terdapat dalam temuan gerabah dan keramik hasil penelitian arkeologis di situs Keraton Surosowan inilah, Ir. Uke Kurniawan seorang “Wong Banten” yang perduli terhadap kebudayaan daerahnya mengangkat motif-motif tersebut menjadi motif batik khas Banten dan “menghidupkan” kembali tradisi membatik di daerah Banten yang telah hilang selama lebih dari 200 tahun.
Motif-motif Batik Banten
Hasil rekonstruksi ke-75 motif hias yang berasal dari temuan gerabah dan keramik dari situs Keraton Surosowan tersebut dipadukan satu sama lainnya dan diambil kesimpulannya menjadi 12 macam motif batik Banten. Ke-12 motif tersebut antara lain sebagai berikut:
Motif Sabakingking
Motif dasar berupa segi empat dengan tumpulan dan sisi-sisinya yang berbulu, diberi variasi 3 warna, motif dasar berwarna coklat, variasi warna motif pada daun bersegi empat berwarna biru dengan dasar kain berwarna krem dan booh (motif batik yang berjajar dan berukuran lebih kecil dari motif utama di sisi-sisi bawah, atas, samping kiri dan kanan kain batik (lihat keterangan gambar di lampiran)) tumpal bergerigi warna coklat tua. Nama Sabakingking diambil dari nama gelar Panembahan Sultan Maulana Hasanudin, raja pertama kerajaan Banten (1552-1570). Motif Mandalikan
Motif dasar berupa belah ketupat dengan bentuk bunga berada di tengah-tengah dalam sebuah bintang. Variasi motif bintang dalam kontak rantai dan booh motif dasarnya bebentuk segi tiga bergerigi berlapis tiga. Variasi warna menggunakan tiga warna yaitu dasarnya barwarna krem, pada motif bintangnya berwarna abu-abu, pada rantai dan booh berwarna coklat tua. Nama Mandalikan diambil dari nama gelar bagi pangeran Banten, yaitu Pangeran Mandalika.
Motif Srimanganti
Motif dasar berbentuk tumpal bergerigi ganda dan ceplok lingkaran serta setengah bulatan dalam lingkaran. Variasi motif berupa pigura berbentuk segi empat, pada sudut-sudutnya yang berbentuk setengah lingkaran terdapat cecep dan booh dengan motif dasar segitiga daun. Memiliki variasi warna coklat yang dominan. Nama Srimanganti diambil dari nama ruang di keraton (Sri = Raja, Manganti = menanti) jadi yang dimaksud yaitu pintu gerbang yang beratap yang menghubungkan keraton. Motif Pasepen
Motif dasar persegi empat berbentuk bunga dan lingkaran polos berjajar empat buah. Motif dasar booh berupa tumpal. Variasi warna pada motif dasar berwarna kuning muda, pada dasar kain berwarna abu-abu, dan booh berwarna biru. Nama Pasepen diambil dari nama sebuah ruang di keraton tempat Sultan bersemedi.
Motif Pejantren
Motif dasar berupa bunga cengkeh dalam lingkaran denagn variasi motif bunga-bunga setengah lingkaran dari motif dasar. Variasi warnanya yaitu warna dasar kain biru, merah dan pada booh berwarna merah tua. Nama Pejantren diambil dari nama pemukiman masyarkat Banten yang berprofesi sebagai penenun.
Motif Pasulaman
Motif dasar berupa belah ketupat lingkaran yang berada dalam lingkaran segi empat. Variasi motif berbentuk lingkaran segi empat, variasi garis berombak dan ilumunisasi bersulur-sulur daun pada pigura segi empat dan motif dasar booh berupa ranting. Motif dasar berwarna merah, pada pigura berwarna abu- abu dan pada booh berwarna hijau. Nama Pasulaman diambil dari nama pemukiman masyarakat Banten yang berprofesi sebagai penyulam.
Motif Kapurban
Motif dasar berbentuk ketupat dengan hiasan berupa bunga, variasi motif berupa pigura berbentuk spiral dan booh segitiga berbentuk bunga. Warna pada pinggir motif dasar pigura hitam dan jingga, pada booh berwarna hitam. Nama Kapurban diambil dari nama gelar pangeran Banten, yaitu Pangeran Purba.
Motif Kawangsan
Motif dasar berupa bunga bergerigi, variasi motif berbentuk daun dan buah dengan motif dasar berupa belah ketupat dan lingkaran polos. Warna yang digunakan pada motif ini antara lain warna biru pada motif dasar, warna coklat pada motif daun dan coklat muda pada booh. Nama Kawangsan diambil dari nama gelar pangeran Banten, yaitu Pangeran Wangsa.
Motif Pamaranggen
Motif dasar belah ketupat dengan bunga yang berada di tengah-tengahnya, memiliki variasi motif semacam sayap kupu-kupu. Variasi garis-garis spiral dan booh dari motif dasar berbentuk spiral. Berwarna merah pada dasar motifnya, coklat muda pada motif sayap kupu-kupunya, dan hitam pada boohnya. Nama Pamaranggen diambil dari nama pemukiman masyarakat Banten yang berprofesi sebagai pembuat keris.
Motif Surosowan
Motif dasar tumpul bergerigi dengan hiasan bunga. Variasi motif berupa daun dan motif dasa pada booh berbentuk belah ketupat dan lingkaran polos. Pada motif dasar berwarna kuning, variasi motif pada dasar kain berwarna biru dan pada booh berwarna kuning. Nama Surosowan diambil dari nama keraton kesultanan Banten, Keraton Surosowan yang berasal dari kata Suro (Pa) Sowan yang berarti tempat untuk menghadap.
Motif Pancaniti
Motif dasar belah ketupat berbentuk bunga dan lingkaran polos yang berada di tengah-tengah bunga matahari. Variasi motif bunga matahari dalam lingkaran berbentuk segi delapan, berornamen daun dan sulur-sulur daun, sedangkan motif dasar booh berbentuk ranting. Variasi warna pada motif dasar berwarna biru, pada variasi motif bunga matahari berwarna abu-abu dan biru, ornamen daun berwarna merah dan pada sulur-sulur daun berwarna biru. Nama Pancaniti diambil dari nama tata ruang keraton dalam lingkungan istana tempat raja menyaksikan pelatihan para prajurit.
Motif Datu Laya
Motif dasar belah ketupat berbentuk bunga dan lingkaran dalam pigura sulur-sulur daun. Pada booh motif dasarnya berupa topeng manusia yang sudah disetelir. Warna biru digunakan pada motif dasarnya, pada pigura sulur-sulur daun berwarna abu-abu, dasar kain berwarna kuning dan pada booh berwarna biru. Nama Datu Laya diambil dari nama tempat tinggal pangeran yang berasal dari kata Datu = pangeran dan Laya = residen.
Banten dalam Motif Batik
Seperti yang telah dijelaskan pada deskripsi motif-motif di atas, makna yang ada di balik penamaan motif-motif batik tersebut menunjukan ke-Banten-an yang sangat kental. Nama toponim enam desa, enam gelar dan nama tata ruang keraton Kesultanan Banten digunakan sebagai nama motif batik Banten.Dalam perjalanannya mencintai kebudayaan leluhur dan usahanya mengembangkan nilai-nilai seni hias dari masa lalu, para putra daerah Banten menghadirkan sebuah upaya untuk memunculkan ragam jenis hiasan tersebut yang kemudian disebut sebagai Batik Banten Mukarnas.
Batik Banten Mukarnas merupakan desain dari motif dasar yang terdapat dalam ragam hias fragmen gerabah dan keramik Banten Lama. Kesinambungan dari masa prasejarah hingga ke masa Islam menghasilkan ragam hias berbentuk tumpal atau pucuk rebung, yang berubah interpretasi pemaknaannya, pada masa Islam diisi dengan makna Mukarnas (perukunan). Ragam hias Mukarnas tidak hanya ditemukan pada fragmen gerabah dan keramik saja, namun juga ditemukan pada ornamen masjid Agung Banten pada bagian sisi-sisi atapnya dan pada nisan-nisan kubur, juga pada iluminasi naskah-naskah kuno Banten. Kemampuan lokal dalam menyerap dan mengolah kebudayaan luar
M enurut H.G. Quaritch Wales disebut sebagai Local Genius. Karakteristik Local Genius menurut Soerjanto Poespowardojo antara lain mampu bertahan terhadap budaya luar, mempunyai kemampuan mengakomodasi unsur-unsur budaya luar, mempunyai kemampuan mengandalikan dan mampu memberikan arah pada perkembangan budaya. Seperti contoh, keterbukaan rakyat Banten masa lalu terhadap kebudayaan luar (dalam hal ini kebudayaan yang berasal dari Eropa yang berupa arsitektural), bangunan menara Masjid Agung Banten dan bangunan Tiamah bergaya arsitektur Indis. Menara Masjid Agung Banten berbentuk seperti mercusuar khas Eropa. Kedua bangunan berarsitektur Eropa itu dirancang oleh Hendrik Lucas Caardel, seorang Belanda yang memeluk Islam pada masa Sultan Ageng Tirtayasa berkuasa (Juliadi, 2007). Dari hal tersebut dapat dilihat bahwa rakyat Banten pada masa itu mempunyai kemampuan mengakomodasi, mengendalikan dan memanfaatkan budaya asing untuk perkembangan budayanya sendiri.
“...lain urang Banten, ari teu ngaleeut ciBanten mah...”
Kalimat di atas mengandung arti “bukanlah orang Banten, kalau dia tidak minum air dari Banten”. Inilah yang menjadi dasar warna pada batik Banten yang cenderung berwarna abu-abu agak lembut. Alasan itu dikemukakan oleh Uke Kurniawan. Air yang digunakan dalam meramu warna untuk batik Banten adalah air yang berasal dari tanah Banten dan hasilnya juga akan berwarna cenderung abu abu agak lembut, berbeda dengan warna-warna batik lain di Indonesia. Lagi pula, Uke Kurniawan menambahkan, bahwa telah dicoba-coba menggunakan air dari tanah Pekalongan, Yogyakarta, dan beberapa daerah penghasil batik di Jawa
Tengah, namun warnanya akan berbeda dengan warna yang menggunakan air dari tanah Banten. Penulis belum yakin apa yang menyebabkan perbedaan warna akibat perbedaan air tersebut, namun menurut beliau, hal itu disebabkan oleh perbedaan kandungan mineral yang ada dalam air tanah di setiap daerah di manapun. Meskipun begitu, tanpa dilakukan penelitian yang akurat mengenai hal ini, keterangan dari Uke Kurniawan itu dapat dikatakan bias.
Warna abu-abu agak lembut juga merupakan simbol perwatakan orang Banten. Warna ini mengandung makna bahwa orang Banten adalah orang yang memiliki cita-cita tinggi, selalu tinggi dalam segalanya, wataknya yang keras, tetapi pembawaannya sederhana. Mungkin watak seperti ini sudah dikenal oleh masyarakat luas sebagai watak khas Banten dan karenanya orang Banten disegani. Maka dipilihlah warna abu-abu agak lembut ini menjadi warna dasar dari batik Banten.
Sebuah Warisan Masa Lalu dalam Dimensi Kekinian
Masyarakat Banten memiliki kebiasaan menghadirkan tradisi baru dengan konsep tradisi lama yang telah ada dan menghidupkannya kembali sebagai tradisi masyarakat Banten. Seperti yang terdapat pada kesenian Rampak Bedug, mula-mula kesenian Rampak Bedug ini merupakan kebiasaan yang dilakukan untuk menyambut bulan Ramadhan. Rampak Bedug merupakan seni bedug yang menggunakan waditra berupa banyak bedug yang yang ditabuh secara serempak sehingga mengahasilkan irama khas yang enak didengar (Siti Ifat, 2008. artikel Rampak Bedug dalam Bantencommunity’s Weblog). Kesenian ini dipadukan dengan gerakan Pencak Silat khas Banten dan Shalawatan. Pencak Silat yang digunakan merupakan seni bela diri masyarakat
Banten dan Shalawat merupakan pujian-pujian terhadap Nabi Muhammad SAW yang keduanya adalah tradisi masyarakat Banten yang sudah ada dari masa Kesultanan Banten berdiri.Hal inilah yang juga terlihat dalam Motif Batik Banten, motif-motif yang telah ada pada masa lalu coba dihidupkan kembali saat ini dengan media yang berbeda. Motif-motif yang terdapat pada gerabah dan keramik masa Kesultanan Banten terungkap ketika dilakukannya penelitian arkeologis di situs Keraton Surosowan. Motif-motif tersebut lalu direkonstruksi dalam media pakaian tradisional Indonesia, yaitu batik. Tidak hanya itu, untuk lebih memaknai batik Banten ini, para putra daerah Banten lalu menamai motif-motif ini dengan nama toponim desa-desa di Banten Lama, nama gelar pangeran dan sultan, juga nama tata ruang keraton Kesultanan Banten. Dalam pewarnaan pun, ciri ke Banten-an jelas terlihat dengan corak warna yang cenderung abu-abu agak lembut yang mencerminkan watak Wong Banten yang memiliki cita-cita tinggi, selalu tinggi dalam segalanya, wataknya yang keras, tetapi pembawaannya sederhana.
Sebuah interelasi gagasan masa kini dengan budaya bendawi masa lalu. Semangat inilah barangkali yang coba dihadirkan pada motif batik Banten. Pemaknaan pada ke-75 motif yang berasal dari masa lalu yang diangkat dalam sebuah media batik pada masa kini dengan nama-nama ke-Banten-an adalah salah satu bentuk mediasi untuk menceritakan kembali sejarah kejayaan Banten pada generasi kini dan mendatang. Rasa hormat, kecintaan pada leluhur yang telah mewariskannya mendorong para penerus daerah mengembangkan motif batik Banten ini agar anak cucu di tanah Banten dapat mengenal karya-karya leluhurnya sebagai bekal dalam mengukir karya cipta generasi mendatang. Sebab, pentingnya sejarah leluhur masa lalu dapat membentuk identitas jati diri masyarakat saat ini dan yang akan datang agar tradisi yang baik ini tetap lestari sebagai warisan nenek moyang yang berharga.
Sejarah Batik Jawa Barat
Jawa barat terkenal akan selain terkenal akan kultur budayanya juga terkenal dengan dunia fashionya dimana batik sebagai salah satu produk dari warisan budaya. Ada beberapa daerah di jawa barat sebagai penghasil batik dimana di antaranya Kuningan, Cirebon, Garut, Tasikmalaya, Ciamis, dan Indramayu, Para pengrajin yang ada pun mulai mengolah batik Jawa Barat menjadi busana modern seirama dengan tren yang berlaku.hanya beberapa motif saja yang memakai nama daerah jawa barat selebihnya menggunakan nama daerah yang ada di dalam daerah teritorial jawa barat. Seperti batik cirebon, batik garut, ciamis dan masih banyak lagi lainnya di bagi menurut daerah asal tersebut dimana setiap daerah rata- rata mengantongi beberapa motif batik sendiri-sendiri.
Sejarah Batik di Pekalongan
Kata Batik berasal dari bahasa Jawa "amba" yang berarti menulis dan "titik". Kata batik merujuk pada kain dengan corak yang dihasilkan oleh bahan "malam" (wax) yang diaplikasikan ke atas kain, sehingga menahan masuknya bahan pewarna (dye), atau dalam Bahasa Inggrisnya "wax-resist dyeing". Dengan kata lain batik adalah kain yang ragam hiasnya dibuat dengan mempergunakan malam sebagai bahan perintang wama, sehingga zat warna tidak dapat mengenai bagian kain yang tertutup malam saat pencelupan. Untuk membubuhkan malam ke atas kain, dipergunakan canting, yaitu sebuah alat kecil berupa semacam mangkuk berujung pipa dan tembaga, yang diberi gagang kayu atau bambu. Lihat Helen Ishwara, LR Supriyaapto Yahya, Xenia Moeis, Batik Pesisir Pusaka Indonesia; Koleksi Hartono Sumarsono, ( Jakarta: KPG, Kepustakaan Popular Gramedia, 2011), hlm. 23 Berdasarkan standar Nasional mengenai pengertian batik, yaitu seni kain yang menggunakan proses perintang lilin atau malam sebagai bahan media untuk menutup permukaan kain dalam proses pencelupan warna. Fifin Syafrina, Pemanfaatan Teknik dan Desain Batik dalam berbagai media serta pemanfaatannya sebagai komuditas Ekonomi, (Jakarta: fakultas Seni Rupa IKJ, 1996), hlm.1 Bila dilihat dari akar katanya, kata batik berasal dari aktifitas orang saat menggambar kain berbentuk titik. Aktifitas membuat titik sebagai kata kerja menggunakan kata matik. Ma sebagai kata awal artinya perbuatan mengerjakan sesuatu. Perkembangan berikutnya kata matik menjadi mbatik dan akhimya batik.Orang yang pertama kali memperkenalkan kata batik dalam dunia internasional tidak diketahui dengan jelas. Namun berdasarkan cacatan sejarah seorang Belanda yang bernama Chastelain telah menggunakan istilah "batex" (batik) dalam laporannya pada tahun 1705 ke Gubemur Belanda Rijcklof Van Goens. Sedangkan jenderal Inggris dengan Gubernurnya Thomas Stanford Rafless sekitar tahun 1811 - 1816 menyebutkan pertama kali kata batik dalam laporannya saat melihat ola ragam hias pada kain yang mirip pola ragam hias kain India. Wahono, Gaya Ragam Hias Batik (Tinjauan Makna dan Simbol), (Semarang: Dinas Pendidikan dan Kebudayaan, Museum jawa tengah Ronggowarsito, 2004), hlm. 32 Metode batik dengan merintang warna dalam pembuatan ragam hias pada sebuah kain sebetulnya sudah lebih dari seribu tahun yang dikenal di berbagai Negara belahan dunia. Zat perintang warnanya beragam dan pembubuhannya bukan dengan canting. Selain di Mesir. Cina, India dan beberapa kawasan Asia lainnya, termasuk Timur T engah, metode merintang warna ditemukan juga di beberapa tempat di Afrika. Tidak diketahui dengan pasti di mana metode itu pertama kalinya muncul atau lahir. Apakah lahir di suatu tempat lalu diperkenalkan ke tempat tempat lain? Ataukah lahir di berbagai daerah dan Negara yang tidak saling berhubungan?.
Pekalongan adalah salah satu daerah penghasil batik yang sangat besar. Bahkan boleh dikatakan 70% pasokan bataik di Nusantara ini, dihasilkan di daerah Pekalongan dan sekitarnya. Kota yang terletak di Pantai Utara Jawa Tengah ini memiliki sejarah panjang dalam hal pembuatan batik. Keberadaan batik di Pekalongan hamper sama tuanya dengan perkembangan kota Pekalongan yang terus berkembang dari waktu ke waktu. Pada umumnya kota-kota penghasil batik yang berada di daerah Pantai Utara Jawa Tengah dan Madura, memiliki kesamaan, baik dalam hal corak, warna, maupun tata niaga batiknya. Kota-kota tersebut meliputi Cirebon, Indramayu, Pekalongan, Demak, Tuban, Madura. Batik yang dihasilkan dari wilayah- wilayah ini kemudian dikenal sebagai batik pesisiran.
Sejak masa Hindu-Budha dan Islam sampai masa kemerdekaan, Pekalongan menempati posisi jauh dari pusat kekuasaan. Secara otonom, Pekalongan tumbuh sebagai kota niaga dan sejak awal kota tersebut sudah menjadi daerah dagang. Sampai dengan masa colonial, daerah itu memiliki pelabuhanlaut yang ikut meramikan lalu lintas perdagangan antar pulau di Nusantara. Adanya pelabuhan itu mempengaruhi perkembangan social ekonomi maupun kependudukan. Urbanisasi kaum urban, baik dari luar daerah maupun dari dalam, ikut menentukan perkembangan Kota Pekalongan. Kusnin Asa, batik Pekalongan Dalam Lintasan Sejarah, (Yogyakarta: Paguyuban Pecinta batik Pekalongan, tth),
Sejak masa Hindu-Budha dan Islam sampai masa kemerdekaan, Pekalongan menempati posisi jauh dari pusat kekuasaan. Secara otonom, Pekalongan tumbuh sebagai kota niaga dan sejak awal kota tersebut sudah menjadi daerah dagang. Sampai dengan masa colonial, daerah itu memiliki pelabuhanlaut yang ikut meramikan lalu lintas perdagangan antar pulau di Nusantara. Adanya pelabuhan itu mempengaruhi perkembangan social ekonomi maupun kependudukan. Urbanisasi kaum urban, baik dari luar daerah maupun dari dalam, ikut menentukan perkembangan Kota Pekalongan. Kusnin Asa, batik Pekalongan Dalam Lintasan Sejarah, (Yogyakarta: Paguyuban Pecinta batik Pekalongan, tth),
Sampai pada abad ke-11, nama Pekalongan disebut seebagai Pu-Choa-Lung. Sedangkan Chou-Ju Kua dari naskah Wai-tai-ta pada tahun 1178 Masehi menyebutkan bahwa She-Po (Jawa) adalah nama Pu-Choa-Lang atau Pekalongan. Oleh sebab itu pada masa Dinasti Sung diketahui bahwa Pekalongan adalah Pelabuhan utama untuk perdagangan Cina.
Sebelum masa jayanya perdagangan Cina, Pekalongan Kuno merupakan wilayah yang terdiri dari desa-desa di pegunungan seperti Wonopringgo, Petungkriyono, Wonotunggal, kajen, talun, Telogo Pakis dan sebagainya. Wilayah wilayah ini tidak dijadikan wilayah pengembangan Mataram Kuno dalam berabad-abad lamanya. Namun setelah adanya pelabuhan kuno di Doro, menjadikan wilayah Pekalongan menjadi peradaban baru. Dengan pelabuhan ini kemudian mempengaruhi sistem perekonomian yang tidak hanya mengandalkan hasil pertanian dan perkebunan. Selain Doro, kajen diketahui sebagai wilayah merdeka yang maju sehingga dinamakan sebagai Bandar Guminsang.
Pertumbuhan penduduk di Pekalongan termasuk lambat karena ada masa kuno Pekalongan tidak termasuk pada kekuasaan besar. Hal ini karena Doro menjadi pusat pelabuhan sehingga wilayah Pekaloangan tidak pernah menjadi pusat pemerintahan. Selain itu terjadinya pendangkalan pantai 4-6 meter pertahun maju ke utara, maka Doro mengalami pendangkalan dari kedalaman laut semula 100 150 meter. Bahkan pada abad XII pelabuhan Doro sudah tidak bisa lagi digunakan. Sungai Kupang yang menjadi ujung tombaknya telah mengalami pendangkalan dan sungai itu mengikuti proses terjadinya dataran dan mengalir sampai ke pantai utara Pekalongan yang sekarang.
Dengan keberadaan candi-candi dan berbagai situs kuno di wilayah Pekalongan, hal ini menunjukkan bahwa masyarakat Pekalongan memiliki kebudayaan keagamaan yang cukup berkembang. Sebuah sistem masyarakat yang sudah tertata rapi dengan berbagai struktur social telah terbentuk dan dinamakan sebagai sima. Di dalam sima ada kelompok pendeta (mPu) yang mengatur dan menjaga berbagai banguanan suci, ada kepala desa (Mathani) dan ada yang sebagai wakil raja yang dinamakan sebagai Bathara atau Sama sanak yang bertugas menarik pajak dari berbagai tempal suci.
Selain itu pada struktur masyarakat ada yang bekerja sebagai petani, pengrajin, pedagang dan sebagainya yang disebut sebagai astacandala. Secara ekonomis astacandala bertugas menyediakan berbagai peralatan upacara keagamaan dan upacara desa. Dalam upacara manusuk Sima atau upacara peribadatan, para pengrajin astacandala juga memiliki kepandaian dalam membuat kain dan membatik.Golongan astacandala dalam struktur masyarakat Pekalongan Kuno s angat dihormati dan terhormat karena kependaiannya, Walaupun mereka dari kalangan rakyat biasa, namun para mpu atau pendheta menghormatinya karena mereka yang menyediakan berbagai peralatan upacara, khususnya kain batik, baik yang dikenakan sebagai tapih maupun sebagai alas penempatan barang sesaji pada waktu upacara.
Di Telogo Pakis dan Linggoasri merupakan pusat peribadatan yang besar semenjak sebelum agama Hindu Budha dari India datang. Dengan toleransi yang tinggi agama baru dari India dapat berkembang dan beradaptasi dengan melahirkan berbagai aliran temasuk aliran Tantrayana dan bahirawa. Sistem kepercayaan baru dari India ini pada akhimya memberikan dampak perkembangan budaya termasuk pengembangan motif batik yang sudah dimiliki oleh masyarakat Pekalongan Kuno. Diantara motif itu berkenaan dengan simbul yang dipakai aliran Siwatra, Bahirawa dan Tantrayana yang berkembangan pasca kekuasaan Mataram-Hindu. Aliran Siwatra atau Saiwapaksa memiliki lambang berupa senjata panah Dewa Shiwa. Lambang ini yang dilikuskan dalam sehelai kain batik sehingga memiliki nilai kesakralan bagi aliran Siwatra tersebut.
Pemakaian kain batik juga dapat dijumpai pada tradisi nyadran yang sudah dilakukan masyarakat Pekalongan Kuno. Nyadaran yang dimaksud adalah mengu pahkan pembuatan kain batik kepada seseorang dukun bayi agar anaknya sembuh dari penyakitnya. Pada upacara nyadran besar yang diadakan setahun sekali saat selamatan seren tahun, masyarakat desa baik di pegunungan maupun di pantai menyertakan kain batik de ngan pola tertentu untuk ikut dilarung dilaut. Sesaji tersebut sebagai persembahan dan ungkapan rasa terima kasih, baik kepada penguasa alam, Dewa, Tuhan maupun penguasa laut. Upacara seperti itu menjadi tradisi dan berlangsung sejaka masa Hindu.
Tradisi ny adran tersebut merupakan sisa-sisa peninggalan masa Hindu Jawa Tengah pada abad ke -9 dan 10 masehi. Dengan demikian batik pada masa lampau dengan ragam hias yang mengandung kepercayaan, lebih cenderung digunakan sebagai sarana ritual dari pada penutup ba dan. Oleh karena itu kedudukan kain batik sangat disakralkan karena dianggap memiliki sifat magis. Kusnin Asa, Pada masa lampau, batik belum merupakan barang koniersial. Pemakaian kain berpola hanya digunakan oleh kalangan tertentu saja, seperti para brahmana dan pendeta. Sedangkan para raja lebih banyak menerima hadiah kain bercorak atau sulaman dengan hiasan tertentu seperti kain patola dari India, atau dari Thailad yang dibuat dengan teknis tenun ganda. Kain berpola tersebut jarang dimiliki ol eh orang kebanyakan karena harganya yang semakin mahal. Dengan alasan inilah maka kaum astacandala membuat kain yang memiliki ragam hias yang sama namun dengan teknis yang berbeda, bukan tenun, namun teknik batik. Pada latar belakang inilah ragam hias batik mulai dibuat.
Posisi Pekalongan sebagai daerah penghasil batik terbagi atas daerah Kota Pekalongan dan wilayah daerah Kabupaten. Secara geografis posisi Pekalongan bagaikan bidak catur yang berbentuk kerucut. Perkembangan wilayahriya meluas ke bagia n selatan dengan batas daerah Rogojembangan. Perkembangan ke arah utara makin menyempit karena berbatasan dengan laut Jawa. Adapun sebelah kiri dan kanannya dibatasi oleh dua kabupaten yaitu kabupaten batang dan Pemalang. Sebagian besar wilayah Kota Pekal ongan berada di dataran rendah, dan kebanyakan daerah inilah yang menghasilkan batik. Sementara wilayah Pekalongan bagian selatan, yang berada di dataran atas, kebanyakan merupakan wilayah berpenghasilan pertanian dan perkebunan.
Berdasarkan registrasi kependudukan masa kolonial tahun 1830, jumlah penduduk Kota Pekalongan yang berada di pusat kota adalah kurang dari satu juta jiwa. Mereka tinggal di sepanjang aliran sungui Loji, dan jumlahnya sekitar 300 orang, yang kebanyakan dari etnis Tionghua, Arab dan beberapa dari pribumi yang menguasai usaha perdagangan dan pembatikan. Hingga sensus terakhir sebelum masa perang tahun 1930, yaitu pada masa Pekalongan sebagai ibukota Karisidenan, dari dua setengah juta penduduk karisidenan Pekalongan, hampir separuhnya berada di wilayah Pekalongan. Semenjak penjajahan masa Belanda dan Jepang, sector perdagangan di Kota Pekalongan dipegang oleh golongan minoritas etnis Tionghua dan Arab. Sebuah sungai yang bemama Loji, mengalir membelah kota sejak berabad-abad yang lalu. Daerah di sepanjang aliran sungai menjadi tempat pemukiman para penduduk yang terdiri dari pribumi, Cina, Arab dan Eropa. Dari sungai Lojilah sebenamya perkembangan Kota Pekalongan dapat ditelusuri sampai pada akhimya berdiri sebuah kota.
Seni kerajinan batik hingga kini tetap berkembang di daerah daerah tertentu di tanah air ini. hal tersebut menunjukan bahwa jenis cultural yang patut diperhitungkan dalam komunitas nasional maupun internasional meskipun terus menerus di tempa arus globallisasi yang membawa serta liberarisme ekonomi dan persaingan bebas. Modal utama yang memungkinkan pencapaian tersebut adalah daya tahan yang dimiliki kerajinan batik itu sendiri yang juga ditopang oleh peningkatan sumberdaya manusia pendukungnya untuk terus berpacu dan beradaptasi dengan dinamika perubahan zaman, yang pada intinya berarti peningkatan etos kerja. Sedangkan daya tahan itu sendiri membuktikan bahwa seni kerajinan batik masih terus dibutuhkan.
Menilik sejarahnya, seni kerajinan batik di negeri ini digolongkan dan dibedakan ke dalam dua jenis kelompok pembagian, yang terutama didasarkan. pada sifat ragam hias dan corak wamanya ditinjau dari sudut kelompok besar daerah pembuatan seni kerjainan batik. Pengelompokan yang dibuat sejak zaman penjajahan Belanda dan nampaknya tetap berlaku hingga sekarang ini menentukan dua kelompok besar yang membedakan seni kerajinan batik yang satu dengan yang lainnya yakni batik vorsstenlanden atau batik keraton dan batik pesisir.
Batik Vorstenlanden adalah seni kerajinan batik yang terdapat di daerah kerajaan yang pada zaman penjajahan Belanda disebut vorstenlanden, dan menunjukkan pada dua daerah keratin-sentris yaitu Solo dan Yogja. Ragam hias pada batik Solo dan Yogja ini bersifat simbolis berlatarbelakang kebudayaan Hindu-Budha-Jawa, dengan wama-wami dominan, yaitu sogan, indigo (biru), hitam dan putih. Lihat Koko Sundari dan Yusmawati, Batik Pesisir, (Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional, 1999/2000), Sementara batik pesisir adalah semua seni karajinan batik yang berasal dari luar daerah Solo dan Jogja atau di luar daerah vorstenlanden. Ragam hias pada batik pesisir ini lebih bersifat naturalis dan banyak menunjukkan pengaruh kuat kebudayaan asing, deng an wama yang beraneka ragam. Yang termasuk ke dalam batik pesisir adalah batik Batavia, batik indramayu, batik Cirebon, batik Tegalan, batik Pekalongan, batik Batang, batik Lasem, batik Tuban, batik Madura. Termasuk juga dalam batik pesisir adalah batik Ponorogo, batik Banyumasan, batik Tulungagung dan sebagainya. Walaupun secara geografis, lebih dekat dengan keraton.
Sebelum masa jayanya perdagangan Cina, Pekalongan Kuno merupakan wilayah yang terdiri dari desa-desa di pegunungan seperti Wonopringgo, Petungkriyono, Wonotunggal, kajen, talun, Telogo Pakis dan sebagainya. Wilayah wilayah ini tidak dijadikan wilayah pengembangan Mataram Kuno dalam berabad-abad lamanya. Namun setelah adanya pelabuhan kuno di Doro, menjadikan wilayah Pekalongan menjadi peradaban baru. Dengan pelabuhan ini kemudian mempengaruhi sistem perekonomian yang tidak hanya mengandalkan hasil pertanian dan perkebunan. Selain Doro, kajen diketahui sebagai wilayah merdeka yang maju sehingga dinamakan sebagai Bandar Guminsang.
Pertumbuhan penduduk di Pekalongan termasuk lambat karena ada masa kuno Pekalongan tidak termasuk pada kekuasaan besar. Hal ini karena Doro menjadi pusat pelabuhan sehingga wilayah Pekaloangan tidak pernah menjadi pusat pemerintahan. Selain itu terjadinya pendangkalan pantai 4-6 meter pertahun maju ke utara, maka Doro mengalami pendangkalan dari kedalaman laut semula 100 150 meter. Bahkan pada abad XII pelabuhan Doro sudah tidak bisa lagi digunakan. Sungai Kupang yang menjadi ujung tombaknya telah mengalami pendangkalan dan sungai itu mengikuti proses terjadinya dataran dan mengalir sampai ke pantai utara Pekalongan yang sekarang.
Dengan keberadaan candi-candi dan berbagai situs kuno di wilayah Pekalongan, hal ini menunjukkan bahwa masyarakat Pekalongan memiliki kebudayaan keagamaan yang cukup berkembang. Sebuah sistem masyarakat yang sudah tertata rapi dengan berbagai struktur social telah terbentuk dan dinamakan sebagai sima. Di dalam sima ada kelompok pendeta (mPu) yang mengatur dan menjaga berbagai banguanan suci, ada kepala desa (Mathani) dan ada yang sebagai wakil raja yang dinamakan sebagai Bathara atau Sama sanak yang bertugas menarik pajak dari berbagai tempal suci.
Selain itu pada struktur masyarakat ada yang bekerja sebagai petani, pengrajin, pedagang dan sebagainya yang disebut sebagai astacandala. Secara ekonomis astacandala bertugas menyediakan berbagai peralatan upacara keagamaan dan upacara desa. Dalam upacara manusuk Sima atau upacara peribadatan, para pengrajin astacandala juga memiliki kepandaian dalam membuat kain dan membatik.Golongan astacandala dalam struktur masyarakat Pekalongan Kuno s angat dihormati dan terhormat karena kependaiannya, Walaupun mereka dari kalangan rakyat biasa, namun para mpu atau pendheta menghormatinya karena mereka yang menyediakan berbagai peralatan upacara, khususnya kain batik, baik yang dikenakan sebagai tapih maupun sebagai alas penempatan barang sesaji pada waktu upacara.
Di Telogo Pakis dan Linggoasri merupakan pusat peribadatan yang besar semenjak sebelum agama Hindu Budha dari India datang. Dengan toleransi yang tinggi agama baru dari India dapat berkembang dan beradaptasi dengan melahirkan berbagai aliran temasuk aliran Tantrayana dan bahirawa. Sistem kepercayaan baru dari India ini pada akhimya memberikan dampak perkembangan budaya termasuk pengembangan motif batik yang sudah dimiliki oleh masyarakat Pekalongan Kuno. Diantara motif itu berkenaan dengan simbul yang dipakai aliran Siwatra, Bahirawa dan Tantrayana yang berkembangan pasca kekuasaan Mataram-Hindu. Aliran Siwatra atau Saiwapaksa memiliki lambang berupa senjata panah Dewa Shiwa. Lambang ini yang dilikuskan dalam sehelai kain batik sehingga memiliki nilai kesakralan bagi aliran Siwatra tersebut.
Pemakaian kain batik juga dapat dijumpai pada tradisi nyadran yang sudah dilakukan masyarakat Pekalongan Kuno. Nyadaran yang dimaksud adalah mengu pahkan pembuatan kain batik kepada seseorang dukun bayi agar anaknya sembuh dari penyakitnya. Pada upacara nyadran besar yang diadakan setahun sekali saat selamatan seren tahun, masyarakat desa baik di pegunungan maupun di pantai menyertakan kain batik de ngan pola tertentu untuk ikut dilarung dilaut. Sesaji tersebut sebagai persembahan dan ungkapan rasa terima kasih, baik kepada penguasa alam, Dewa, Tuhan maupun penguasa laut. Upacara seperti itu menjadi tradisi dan berlangsung sejaka masa Hindu.
Tradisi ny adran tersebut merupakan sisa-sisa peninggalan masa Hindu Jawa Tengah pada abad ke -9 dan 10 masehi. Dengan demikian batik pada masa lampau dengan ragam hias yang mengandung kepercayaan, lebih cenderung digunakan sebagai sarana ritual dari pada penutup ba dan. Oleh karena itu kedudukan kain batik sangat disakralkan karena dianggap memiliki sifat magis. Kusnin Asa, Pada masa lampau, batik belum merupakan barang koniersial. Pemakaian kain berpola hanya digunakan oleh kalangan tertentu saja, seperti para brahmana dan pendeta. Sedangkan para raja lebih banyak menerima hadiah kain bercorak atau sulaman dengan hiasan tertentu seperti kain patola dari India, atau dari Thailad yang dibuat dengan teknis tenun ganda. Kain berpola tersebut jarang dimiliki ol eh orang kebanyakan karena harganya yang semakin mahal. Dengan alasan inilah maka kaum astacandala membuat kain yang memiliki ragam hias yang sama namun dengan teknis yang berbeda, bukan tenun, namun teknik batik. Pada latar belakang inilah ragam hias batik mulai dibuat.
Posisi Pekalongan sebagai daerah penghasil batik terbagi atas daerah Kota Pekalongan dan wilayah daerah Kabupaten. Secara geografis posisi Pekalongan bagaikan bidak catur yang berbentuk kerucut. Perkembangan wilayahriya meluas ke bagia n selatan dengan batas daerah Rogojembangan. Perkembangan ke arah utara makin menyempit karena berbatasan dengan laut Jawa. Adapun sebelah kiri dan kanannya dibatasi oleh dua kabupaten yaitu kabupaten batang dan Pemalang. Sebagian besar wilayah Kota Pekal ongan berada di dataran rendah, dan kebanyakan daerah inilah yang menghasilkan batik. Sementara wilayah Pekalongan bagian selatan, yang berada di dataran atas, kebanyakan merupakan wilayah berpenghasilan pertanian dan perkebunan.
Berdasarkan registrasi kependudukan masa kolonial tahun 1830, jumlah penduduk Kota Pekalongan yang berada di pusat kota adalah kurang dari satu juta jiwa. Mereka tinggal di sepanjang aliran sungui Loji, dan jumlahnya sekitar 300 orang, yang kebanyakan dari etnis Tionghua, Arab dan beberapa dari pribumi yang menguasai usaha perdagangan dan pembatikan. Hingga sensus terakhir sebelum masa perang tahun 1930, yaitu pada masa Pekalongan sebagai ibukota Karisidenan, dari dua setengah juta penduduk karisidenan Pekalongan, hampir separuhnya berada di wilayah Pekalongan. Semenjak penjajahan masa Belanda dan Jepang, sector perdagangan di Kota Pekalongan dipegang oleh golongan minoritas etnis Tionghua dan Arab. Sebuah sungai yang bemama Loji, mengalir membelah kota sejak berabad-abad yang lalu. Daerah di sepanjang aliran sungai menjadi tempat pemukiman para penduduk yang terdiri dari pribumi, Cina, Arab dan Eropa. Dari sungai Lojilah sebenamya perkembangan Kota Pekalongan dapat ditelusuri sampai pada akhimya berdiri sebuah kota.
Seni kerajinan batik hingga kini tetap berkembang di daerah daerah tertentu di tanah air ini. hal tersebut menunjukan bahwa jenis cultural yang patut diperhitungkan dalam komunitas nasional maupun internasional meskipun terus menerus di tempa arus globallisasi yang membawa serta liberarisme ekonomi dan persaingan bebas. Modal utama yang memungkinkan pencapaian tersebut adalah daya tahan yang dimiliki kerajinan batik itu sendiri yang juga ditopang oleh peningkatan sumberdaya manusia pendukungnya untuk terus berpacu dan beradaptasi dengan dinamika perubahan zaman, yang pada intinya berarti peningkatan etos kerja. Sedangkan daya tahan itu sendiri membuktikan bahwa seni kerajinan batik masih terus dibutuhkan.
Menilik sejarahnya, seni kerajinan batik di negeri ini digolongkan dan dibedakan ke dalam dua jenis kelompok pembagian, yang terutama didasarkan. pada sifat ragam hias dan corak wamanya ditinjau dari sudut kelompok besar daerah pembuatan seni kerjainan batik. Pengelompokan yang dibuat sejak zaman penjajahan Belanda dan nampaknya tetap berlaku hingga sekarang ini menentukan dua kelompok besar yang membedakan seni kerajinan batik yang satu dengan yang lainnya yakni batik vorsstenlanden atau batik keraton dan batik pesisir.
Batik Vorstenlanden adalah seni kerajinan batik yang terdapat di daerah kerajaan yang pada zaman penjajahan Belanda disebut vorstenlanden, dan menunjukkan pada dua daerah keratin-sentris yaitu Solo dan Yogja. Ragam hias pada batik Solo dan Yogja ini bersifat simbolis berlatarbelakang kebudayaan Hindu-Budha-Jawa, dengan wama-wami dominan, yaitu sogan, indigo (biru), hitam dan putih. Lihat Koko Sundari dan Yusmawati, Batik Pesisir, (Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional, 1999/2000), Sementara batik pesisir adalah semua seni karajinan batik yang berasal dari luar daerah Solo dan Jogja atau di luar daerah vorstenlanden. Ragam hias pada batik pesisir ini lebih bersifat naturalis dan banyak menunjukkan pengaruh kuat kebudayaan asing, deng an wama yang beraneka ragam. Yang termasuk ke dalam batik pesisir adalah batik Batavia, batik indramayu, batik Cirebon, batik Tegalan, batik Pekalongan, batik Batang, batik Lasem, batik Tuban, batik Madura. Termasuk juga dalam batik pesisir adalah batik Ponorogo, batik Banyumasan, batik Tulungagung dan sebagainya. Walaupun secara geografis, lebih dekat dengan keraton.
Comments