Crayon Shinchan pertama muncul pada tahun 1990 secara mingguan di majalah Weekly Manga Action, yang diterbitkan oleh Futabasha. Crayon Shin-chan mulai ditayangkan oleh TV Asahi pada 13 April 1992. Di Indonesia, komik Shin-chan diterbitkan oleh Indorestu Pacific (sebelumnya pernah pula diterbitkan Rajawali Grafiti dengan judul Crayon). Anime Crayon Shin-chan di Indonesia pernah ditayangkan oleh stasiun televisi Trans 7 dan saat ini ditayangkan oleh RCTI -
Sinopsis
Tokoh kartun ciptaan salah satu kartunis asal Negeri Sakura ini memang sedang jadi pembicaraan hangat di kalangan masyarakat Indonesia. Tidak kalah menariknya dengan berita-berita kekacauan politik yang juga sedang membara. Tidak juga beda dengan tokoh politik kita, Crayon Sinchan juga mendapat dukungan dari sebagian kelompok masyarakat dan sekaligus mendapat kecaman dari yang lain.
Sejak awal masa edarnya, grafik penjualan buku komik Crayon Sinchan memang menunjukkan pergerakan yang sangat progresif. Dalam waktu yang relatif singkat, ketenaran tokoh yang menggambarkan sosok anak usia balita ini telah berhasil merebut hati anak-anak dan juga orang dewasa. Sinchan terbukti tidak hanya dapat bersaing dengan tokoh politik, bahkan ketenaran Joshua yang telah lebih dulu kita kenal sebagai selebritis cilik itupun mulai digoyahkannya. Sampai di sini, mungkin membingungkan, kemana arah pembicaraan tulisan ini. Apa hubungan tokoh kartun Crayon Sinchan dengan tokoh politik, Joshua dan judul tulisan ini. Di sinilah permasalahannya, coba amati baik-baik, dapatkah anda menemukan benang merah antar tokoh di atas?
Benang merah penghubung ketiganya, yang saya temukan adalah topeng. Sinchan seolah menjadi begitu hebat bila sedang bergaya a la pahlawan bertopeng. Tokoh politik kita merasa perlu terus merias diri agar topeng politiknya tidak luntur. Joshua… saya berharap dia masih bisa menikmati masa kanak-kanaknya, disela-sela kehidupan selebritis yang sarat basa-basi.
Sekarang, mari kita meluangkan sedikit energi untuk merenungkan implementasi topeng dalam keseharian kita. Adakah keterlibatan kita sehingga kondisi kehidupan bermasyarakat seperti yang kita rasakan saat ini? Adakah kita sudah memikirkan yang akan dialami oleh generasi muda, dengan kondisi yang serba memprihatinkan begini? Bagaimana mungkin kita masih bisa berharap anak-anak kita akan tetap teguh pada konsep jujur-adil sementara tiap hari mereka mendapati perilaku yang ditampilkan ternyata bukan cerminan sikap atau niat hati. Lebih lagi, kebohongan tidak pernah mendapat sanksi negatif seperti yang selama ini mereka pelajari. Mungkin ini satu mata rantai yang rusak sehingga pendidikan moral di sekolah seolah tong kosong belaka.
Topeng kehidupan memang sudah ada sejak dunia ini hidup. Saat bangun pagi sampai kita memejamkan mata menjelang tidur malam, kita selalu berhadapan dengan berbagai topeng. Contoh saja, berapa banyak ayah yang marah pada anaknya lalu berpesan bahwa merokok itu tidak baik, sementara setiap hari dia menghabiskan lebih dari satu bungkus. Berapa banyak guru yang marah karena ada siswa yang tidak mengerjakan tugas sementara dia sendiri hampir selalu terlambat kalau tidak mau disebut tidak pernah– menunaikan tugasnya mengevaluasi hasil kerja siswanya.
Kini, dalam kehidupan yang semakin pengap oleh manipulasi, banyak orang terperanjat karena kehadiran Crayon Sinchan dengan segala kepolosan anak usia balita yang kritis. Banyak sudah tulisan diberbagai media dalam berbagai tampilan yang isinya mengkritisi perilaku sang tokoh. Satu hal yang cukup mendasar adalah kritik bahwa tokoh ini memberikan teladan buruk pada anak. Benarkah sang pencipta karakter Crayon Sinchan berniat merusak generasi muda? Pihak yang menentangnya berpendapat bahwa tokoh ini membuat anak-anak bersikap kurang ajar.
Maaf bila terkesan menggurui, saya sangat yakin bahwa anak dengan rasa ingin tahu yang tinggi adalah anak yang memiliki tingkat intelektualitas yang baik. Bukankah anak seperti ini yang diinginkan? Jadi, semua pertanyaan kritis anak perlu ditanggapi serius dan jujur. Tanpa kecurigaan apalagi kepanikan yang biasanya bermuara pada kemarahan.
Saya juga percaya bahwa tidak ada seorang anakpun, apalagi dalam usia balita, punya pemahaman tentang pornografi. Jika pertanyaannya mengarah pada hal-hal serupa, hadapi itu sama seperti hal lainnya karena perhatian yang berlebihan hanya akan membuat anak makin penasaran. Akibatnya, kita sendiri yang akan kewalahan karena anak akan terus bertanya sampai rasa ingin tahunya terpuaskan.
Tiap pertanyaan perlu dijawab tuntas dan hati-hati karena peluang terjerumus pada pemahaman yang keliru sangat besar dan bila itu terjadi, fatal akibatnya bagi si anak. Hati-hati juga memilih kata dan bersikap karena anak akan merasakan bila kita berbohong atau tidak tulus. Jadi, bila tidak ingin si anak terjerumus pada perilaku negatif, bimbinglah dia untuk menghargai kejujuran, contohkan padanya sikap polos tanpa topeng. Bangun sikap konsekuen dan saling percaya sehingga tidak ada rasa takut untuk bicara jujur, sekalipun itu berarti akan berhadapan dengan sanksi.
Bila ini benar bisa terjadi, saya yakin kita tidak lagi pusing berurusan dengan tindak kejahatan karena semua orang tidak lagi merasa harus tampil bagus. Hasilnya, tidak ada lagi kekhawatiran dinilai jelek karena menjadi diri sendiri dan dunia akan damai dalam niat baik tanpa topeng-topeng manipulasi sosial.
Sejak awal masa edarnya, grafik penjualan buku komik Crayon Sinchan memang menunjukkan pergerakan yang sangat progresif. Dalam waktu yang relatif singkat, ketenaran tokoh yang menggambarkan sosok anak usia balita ini telah berhasil merebut hati anak-anak dan juga orang dewasa. Sinchan terbukti tidak hanya dapat bersaing dengan tokoh politik, bahkan ketenaran Joshua yang telah lebih dulu kita kenal sebagai selebritis cilik itupun mulai digoyahkannya. Sampai di sini, mungkin membingungkan, kemana arah pembicaraan tulisan ini. Apa hubungan tokoh kartun Crayon Sinchan dengan tokoh politik, Joshua dan judul tulisan ini. Di sinilah permasalahannya, coba amati baik-baik, dapatkah anda menemukan benang merah antar tokoh di atas?
Benang merah penghubung ketiganya, yang saya temukan adalah topeng. Sinchan seolah menjadi begitu hebat bila sedang bergaya a la pahlawan bertopeng. Tokoh politik kita merasa perlu terus merias diri agar topeng politiknya tidak luntur. Joshua… saya berharap dia masih bisa menikmati masa kanak-kanaknya, disela-sela kehidupan selebritis yang sarat basa-basi.
Sekarang, mari kita meluangkan sedikit energi untuk merenungkan implementasi topeng dalam keseharian kita. Adakah keterlibatan kita sehingga kondisi kehidupan bermasyarakat seperti yang kita rasakan saat ini? Adakah kita sudah memikirkan yang akan dialami oleh generasi muda, dengan kondisi yang serba memprihatinkan begini? Bagaimana mungkin kita masih bisa berharap anak-anak kita akan tetap teguh pada konsep jujur-adil sementara tiap hari mereka mendapati perilaku yang ditampilkan ternyata bukan cerminan sikap atau niat hati. Lebih lagi, kebohongan tidak pernah mendapat sanksi negatif seperti yang selama ini mereka pelajari. Mungkin ini satu mata rantai yang rusak sehingga pendidikan moral di sekolah seolah tong kosong belaka.
Topeng kehidupan memang sudah ada sejak dunia ini hidup. Saat bangun pagi sampai kita memejamkan mata menjelang tidur malam, kita selalu berhadapan dengan berbagai topeng. Contoh saja, berapa banyak ayah yang marah pada anaknya lalu berpesan bahwa merokok itu tidak baik, sementara setiap hari dia menghabiskan lebih dari satu bungkus. Berapa banyak guru yang marah karena ada siswa yang tidak mengerjakan tugas sementara dia sendiri hampir selalu terlambat kalau tidak mau disebut tidak pernah– menunaikan tugasnya mengevaluasi hasil kerja siswanya.
Kini, dalam kehidupan yang semakin pengap oleh manipulasi, banyak orang terperanjat karena kehadiran Crayon Sinchan dengan segala kepolosan anak usia balita yang kritis. Banyak sudah tulisan diberbagai media dalam berbagai tampilan yang isinya mengkritisi perilaku sang tokoh. Satu hal yang cukup mendasar adalah kritik bahwa tokoh ini memberikan teladan buruk pada anak. Benarkah sang pencipta karakter Crayon Sinchan berniat merusak generasi muda? Pihak yang menentangnya berpendapat bahwa tokoh ini membuat anak-anak bersikap kurang ajar.
Pertanyaannya kemudian: kurang ajar menurut siapa?
Semoga tulisan ini dapat sedikit menggugah nurani anda yang merasa sudah cukup “tua” untuk punya anak karena anak bukan manusia dengan ukuran mini. Anak adalah anak, yang punya dunia sendiri. Saya cukup yakin anda akan berpendapat lain tentang Sinchan bila anda mengamati dan menilainya melalui kacamata anak usia balita. Coba saja, bagaimana mungkin anak usia balita akan berpikir bahwa sesuatu itu porno selama mereka masih bisa bersikap wajar di hadapan orang,dalam keadaan telanjang.Maaf bila terkesan menggurui, saya sangat yakin bahwa anak dengan rasa ingin tahu yang tinggi adalah anak yang memiliki tingkat intelektualitas yang baik. Bukankah anak seperti ini yang diinginkan? Jadi, semua pertanyaan kritis anak perlu ditanggapi serius dan jujur. Tanpa kecurigaan apalagi kepanikan yang biasanya bermuara pada kemarahan.
Saya juga percaya bahwa tidak ada seorang anakpun, apalagi dalam usia balita, punya pemahaman tentang pornografi. Jika pertanyaannya mengarah pada hal-hal serupa, hadapi itu sama seperti hal lainnya karena perhatian yang berlebihan hanya akan membuat anak makin penasaran. Akibatnya, kita sendiri yang akan kewalahan karena anak akan terus bertanya sampai rasa ingin tahunya terpuaskan.
Tiap pertanyaan perlu dijawab tuntas dan hati-hati karena peluang terjerumus pada pemahaman yang keliru sangat besar dan bila itu terjadi, fatal akibatnya bagi si anak. Hati-hati juga memilih kata dan bersikap karena anak akan merasakan bila kita berbohong atau tidak tulus. Jadi, bila tidak ingin si anak terjerumus pada perilaku negatif, bimbinglah dia untuk menghargai kejujuran, contohkan padanya sikap polos tanpa topeng. Bangun sikap konsekuen dan saling percaya sehingga tidak ada rasa takut untuk bicara jujur, sekalipun itu berarti akan berhadapan dengan sanksi.
Bila ini benar bisa terjadi, saya yakin kita tidak lagi pusing berurusan dengan tindak kejahatan karena semua orang tidak lagi merasa harus tampil bagus. Hasilnya, tidak ada lagi kekhawatiran dinilai jelek karena menjadi diri sendiri dan dunia akan damai dalam niat baik tanpa topeng-topeng manipulasi sosial.
Comments