PERIODE HINDU - BUDHA
Tulisan Jawa dan Bali adalah varian modern dari aksara Kawi, salah satu aksara Brahmi hasil perkembangan aksara Pallawa yang berkembang di Jawa. Aksara ini dulu digunakan terutama untuk menulis terjemahan Sansekerta, berbagai literatur masa itu juga ditulis dengan Kawi. Tulisan ini kemudian bertransisi menjadi tulisan Jawa selama periode Hindu-Buddha. Aksara Kawi dan Jawa sebenarnya mirip; keduanya memiliki ortografi yang sama, seperti ditulis tanpa spasi, bentuk pasangan untuk menulis klaster konsonan, dsb. Perbedaan terletak pada bentuk hurufnya, namun pembagiannya tidak begitu jelas karena prasasti-prasasti masa itu cendrung sangat bervariasi dari satu daerah ke yang lain. Aksara Kawi dan Jawa awal juga mempunyai aksara dasar (nglegena) yang lebih banyak, karena huruf murda serta mahaprana belum dibedakan seperti sekarang, dan merepresentasikan bunyi unik dalam Sansekerta. Aksara Jawa pada masa ini disusun secara fonetis, berdasarkan pengaturan Panini, dan menjadi basis dalam penyusunan aksara Jawa dalam Unicode.
PERIODE ISLAM
Periode ini kurang lebih berlangsung dari zaman Kesultanan Demak hingga Pajang akhir, dan teks dari masa tersebut dapat diwakili dengan serat Suluk Wujil dan Serat Ajisaka. Pada masa ini, diperkenalkan urutan pangram hanacaraka untuk memudahkan pengikatan 20 konsonan yang digunakan dalam bahasa Jawa. Perlu diperhatikan bahwa aksara murda dan mahaprana tidak diikutsertakan dalam urutan tersebut. Hal ini disebabkan karena huruf-huruf murda dan mahaprana merepresentasikan bunyi yang tidak ada dalam bahasa Jawa asli dan lebih banyak berfungsi dalam terjemahan Sansekerta, karena itu penggunaannya menurun semenjak perkenalan Islam. Namun kedua jenis huruf tersebut masih dipertahankan untuk pengejaan. Periode ini juga ditandai dengan ditemukannya aksara rekan untuk kata serapan bahasa Arab, yang mulai banyak digunakan sejalan dengan penyiaran Islam di Nusantara. Pada abad 17, tulisan Jawa telah dikenal dengan nama Carakan
PERIODE KOLONIAL
Periode ini adalah periode ketika aksara Jawa berkembang pada zaman pemerintah Kolonial Hindia Belanda berkuasa atas tanah Jawa, yang diwakili tata tulis aksara Jawa keluaran ejaan Sriwedari yang terdapat pada teks-teks Jawa yang ditulis sebelum adanya tata eja aksara Jawa Kongres Bahasa Jawa II Malang (1996). Perbedaan yang paling kentara adalah pemakaian aksara Murda pada periode ini, yang walaupun sebagian masih sama perlakuannya untuk aksara murda seperti pada periode-periode sebelumnya, namun sebagian sudah berubah fungsi sebagai huruf kapital layaknya dalam aksara Latin. Penggunaan (pengejaan) aksara Jawa pertama kali diLokakaryakan pada tahun 1926 untuk menyeragamkan tata cara penulisan menggunakan aksara ini, sejalan dengan makin meningkatnya volume cetakan menggunakan aksara ini, meskipun pada saat yang sama penggunaan huruf arab pegon dan huruf Latin bagi teks-teks berbahasa Jawa juga meningkat frekuensinya. Pertemuan pertama ini menghasilkan Wewaton Sriwedari ("Ketetapan Sriwedari"), yang memberi landasan dasar bagi pengejaan tulisan. Nama Sriwedari digunakan karena lokakarya itu berlangsung di Sriwedari, Surakarta. Salah satu perubahan yang penting adalah pengurangan penggunaan taling-tarung bagi bunyi /o/ (O Jawa). Alih-alih menuliskan "Ronggawarsita" (bentuk ini banyak dipakai pada naskah naskah abad ke-19), dengan ejaan baru penulisan menjadi "Ranggawarsita", mengurangi penggunaan taling-tarung.
INFO LOKER
AKSARA JAWA MODERN
Prasasti modern dengan aksara Latin(bahasa Portugis) dan aksara Hanacaraka/Jawa modern (bahasa Jawa). Prasasti dibuat untuk memperingati pemugaran Taman Sari di komplek Kraton Yogyakarta. Periode ini adalah periode perkembangan aksara Jawa setelah zaman Kemerdekaan INdonesia hingga sekarang, antara lain diterbitkannya buku Karti Basa oleh Kementrian Pengadjaran, Pendidikan dan Keboedajaan pada tahun 1946 yang berisi Patokan Panoelise Temboeng Djawa nganggo Aksara Djawa sarta Angka (Pedoman Penulisan Kata Jawa dengan Aksara Jawa serta Angka),
Serta Patokan Panoelise Temboeng Djawa nganggo Aksara Latin (Pedoman Penulisan Kata Jawa dengan Huruf Latin), yang kemudian diterbitkan terpisah sebagaiTatanan Njerat Basa Djawi oleh Tjabang Bagian Bahasa Djawatan Kebudajaan Kementerian P.P. dan K. Jogjakarta pada tahun 1955, yang telah disesuaikan dengan Ejaan Suwandi. Kemudian, untuk menindaklanjuti keputusan Kongres Bahasa Jawa I di Semarang pada tanggal 15-20 Juli 1991, Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Propinsi DIY pada tahun anggaran 1992/1993 memutuskan ditetapkan penyelenggaraan kegiatan penyusunan pedoman penulisan aksara Jawa.
Masalah yang dibahas dalam pedoman tersebut antara lain penyesuaian penulisan bahasa Jawa dengan ahara Jawa dan aksara Latin, penulisan kata-kata serapan dari bahasa serumpun dan bahasa asing dengan aksara Jawa, penulisan bunyi f dan v, penulisan bunyi yang ucapannya bervariasi, dan penulisan singkatan kata. Pada Kongres Bahasa Jawa II 1996 dikeluarkanlah Surat Kesepakatan Bersama (SKB) tiga gubernur (perda Jawa Tengah, No. 430/76/1996, DI Yogyakarta: No. 214/119/5280/1996, dan Jawa Timur No. 430/5052/0311/1996) pada tahun 1996 yang berusaha menyelaraskan tata cara penulisan yang diajarkan di sekolah-sekolah di ketiga provinsi tersebut.
Pada tanggal 17 dan 18 Mei 1996 para ahli bahasa Jawa dari Provinsi DIY, Jawa Tengah, dan Jawa Timur berkumpul di Yogyakarta dan menghasilkan buku Pedoman Penulisan Aksara Jawa yang diterbitkan oleh Yayasan Pustaka Nusatama. Perbedaan yang paling kentara dalam pedoman yang baru ini adalah pemakaian aksara murda sudah dianggap seperti layaknya huruf kapital seperti pada penggunaan huruf kapital dalam aksara Latin, tanpa mengindahkan tradisi lama yaitu hadirnya aksara Murda sebagai pendamping penulisan kata Jawa Kuna – Pertengahan. Tonggak perubahan lainnya adalah aturan yang dikeluarkan pada Kongres Basa Jawa III, 15-21 Juli 2001 di Yogyakarta. Perubahan yang dihasilkan kongres ini adalah beberapa penyederhanaan penulisan bentuk-bentuk gabungan (kata dasar + imbuhan), dan KBJ IV yang membuka jalan bagi dimasukkannya aksara Jawa ke Unicode.
BENTUK AKSARA
Tulisan jawa adalah sebuah abugida. Setiap huruf konsonannya memiliki vokal inheren /a/ atau /ɔ/ dalam posisi terbuka, yang diubah dengan penempatan tanda baca tertentu, seperti halnya huruf Arab. Namun berbeda dengan huruf Arab, tanda baca vokal wajib ditulis jika diperlukan. Perlu diperhatikan bahwa tulisan Arab aslinya bersifat abjad, yakni hanya memiliki konsonan saja. Tanda baca dalam tulisan Arab hanya dipakai untuk teks penting, dan pengguna aslinya dapat membaca tulisan arab tanpa tanda baca. Setiap huruf konsonan dalam aksara Jawa memiliki bentuk subskrip, disebut pasangan, untuk membentuk klaster konsonan.
INFO LOKER
Beberapa huruf memiliki bentuk 'kapital', namun huruf ini hanya digunakan untuk nama orang atau tempat, tidak untuk awal sebuah kalimat. Terdapat sejumlah huruf yang diadaptasikan untuk kata serapan dan bunyi asing yang tidak terdapat dalam bahasa Jawa. Terdapat pula angka, sejumlah tanda baca yang berhubungan dengan surat-menyurat, tembang/puisi, serta tanda memulasi paragraf, koma, titik, kurung, kutip dan penanda angka.Huruf Jawa ditulis miring ke kanan dan tanpa spasi, karena itu pembaca harus mengenal tulisan dan bahasa Jawa untuk mengidentifikasikan batas antar kata.
Comments