Biodata
Lahir : Barus, Tapanuli Tengah, Sumatera Utara, 2 September 1909
Meninggal : Jakarta, 2 Maret 1963
Biografi
KH. Zainul Arifin, seorang pahlawan kemerdekaan yang mengawali perjuangan pergerakan nasional di bawah naungan organisasi Nahdlatul Ulama (NU). Pada zaman Jepang, pergerakan Zainul Arifin dengan nama organisasi Majelis Islam Ala Indonesia (MIAI), yang kelak kemudian berganti nama menjadi Majelis Syuro Muslimin Indonesia (Masyumi). Di bidang kemiliteran, Zainul pernah menjabat Panglima Hizbullah (Tentara Allah) untuk seluruh Indonesia dan Sekretaris Pucuk Pimpinan TNI. Setelah kemerdekaan, ia berturut-turut menjadi anggota Badan Pekerja Komite Nasional Indonesia Pusat (BP KNIP), anggota Dewan Perwakilan Rakyat Sementara (DPRS), Wakil II Perdana Menteri, Wakil Ketua DPR , dan Ketua DPRGR.
Gemeente Batavia atau Kotapraja Jakarta, itulah pekerjaan Zainul Arifin pada masa pendudukan Belanda. Dengan demikian, beliau adalah seorang pegawai negeri yang mendapat upah atau gaji dari pemerintah kolonial Belanda. Bekerja seperti itu memang sudah lajim pada zaman itu. Namun bedanya, walaupun bekerja pada pemerintah Belanda, pria kelahiran Barus, Tapanuli, tahun 1909, ini aktif dalam pergerakan nasional. Beliau masuk organisasi Nahdlatul Ulama (NU), sebuah organisasi keislaman yang waktu itu juga sekaligus menjadi partai.
Dalam perjalanan sejarah, pemerintah pendudukan Belanda akhirnya harus keluar dari bumi Indonesia akibat kalah perang dari Jepang pada Perang Dunia Kedua. Pemerintahan Belanda di Indonesia kemudian digantikan Jepang. Pemerintah pendudukan Jepang ini menerapkan kebijakan baru mengenai partai-partai. Semua partai yang ada dilarang berdiri, tak terkecuali Partai NU. Tapi kemudian mengizinkan berdirinya Majelis Syuro Muslimin Indonesia (Masyumi) sebagai satu satunya wadah bagi umat Islam. Zainul Arifin yang memperoleh pendidikan Sekolah Dasar dan pesantren, kemudian memasuki organisasi tersebut yang kemudian terpilih sebagai Kepala Bagian Umum.
Di bidang kemiliteran, Zainul Arifin boleh dikata merupakan salah seorang tokoh yang sukses. Sebelum masuk ke dunia militer, beliau terlebih dulu latihan militer selama dua bulan. Selepas menjalani latihan, beliau masuk Hizbullah, sebuah organisasi semi militer yang anggotanya terdiri dari pemuda-pemuda Islam. Organisasi ini merupakan salah satu laskar di antara sekian banyak laskar bersenjata di Indonesia yang melakukan perjuangan di samping tentara resmi.
Di laskar Hizbullah ini, Zainul Arifin kemudian terpilih menjadi Panglima Hizbullah seluruh Indonesia. Di bawah organisasi tersebutlah ia melakukan perjuangan. Hingga era revolusi kemerdekaan, mereka berjuang bersama tentara resmi untuk mempertahankan kemerdekaan.
Dalam rangka penyatuan satu wadah tentara sebagai kekuatan pertahanan nasional, maka semua laskar yang ada dilebur atau disatukan ke dalam Tentara Nasional Indonesia (TNI). Begitu pula halnya dengan Hizbullah, kemudian melebur menjadi TNI. Zaenul Arifin yang hingga akhir keberadaan Hizbullah duduk dalam pucuk pimpinan, kemudian diangkat sebagai Sekretaris Pucuk Pimpinan TNI hasil penggabungan.
Sementara di pemerintahan, KH Zaenul Arifin lebih banyak duduk di lembaga legislatif. Awal kemerdekaan, beliau duduk sebagai anggota Badan Pekerja Komite Nasional Indonesia Pusat (BP KNIP). Kemudian sesudah pengakuan kedaulatan, tepatnya sejak tahun 1950 sampai tahun 1953, duduk sebagai anggota Dewan Perwakilan Rakyat Sementara (DPRS). Di lembaga eksekutif, beliau memang sempat duduk sebagai Wakil II Perdana Menteri dalam Kabinet Ali Sastroamijoyo. Namun pada Pemilihan Umum tahun 1955, beliau kembali duduk di lembaga legislatif sebagai anggota DPR, dan bahkan kemudian terpilih sebagai Wakil Ketua DPR.
Satu hal bersejarah terjadi pada periode ini. Pada periode ini, pertentangan politik di tanah air khususnya di lembaga legislatif sangat tajam. Negara Republik Indonesia ketika itu tidak lagi memakai UUD 45 sebagai dasar konstitusional negara, tapi telah memakai Undang-Undang Dasar Sementara (UUDS) sebelum dibuat UUD yang baru. Dan menjadi tugas DPR-lah menyusun undang undang dasar baru tersebut. Namun, dengan proses yang sangat panjang dan melelahkan, Konstituante tidak berhasil membuat undang-undang dasar baru tersebut. Bahkan, pertentangan di tubuh lembaga legislatif itu semakin besar dan tajam. Melihat keadaan demikian, Presiden Soekarno akhirnya mengeluarkan dekrit yang menyatakan berlakunya kembali Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 45).
Masih berkaitan dengan kebuntuan yang terjadi di lembaga legislatif tersebut, akhirnya lembaga legislatif itupun dibubarkan dan selanjutnya dibentuk Dewan Perwakilan Rakyat Gotong Royong (DPRGR). KH Zainul Arifin yang sejak awal diangkat menjadi Pejabat Ketua, kemudian dikukuhkan sebagai Ketua DPRGR.
Begitulah perjalanan hidup dan perjuangan salah seorang putra terbaik bangsa, KH Zainul Arifin. Sampai akhir hayatnya, beliau tetap mengabdi kepada nusa dan bangsa. Beliau meninggal dunia di usia 54 tahun, tepatnya pada 2 Maret 1963 di Jakarta. Jenazahnya dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata, Jakarta. Mengingat jasa-jasanya pada nusa dan bangsa, maka negara menganugerahkan gelar penghormatan kepada KH Zainul Arifin sebagai Pahlawan Kemerdekaan Nasional. Gelar penghormatan tersebut dikukuhkan dengan SK Presiden Republik Indonesia No.35 Tahun 1963, tanggal 4 Maret 1963.
Karir Politik
Pemilu pertama 1955 mengantar Zainul Arifin sebagai anggota Majelis Konstituante sekaligus wakil ketua DPR sampai kedua lembaga dibubarkan Sukarno melalui Dekrit Presiden 5 Juli 1959.Memasuki era Demokrasi Terpimpin itu, Arifin bersedia mengetuai DPR Gotong Royong (DPRGR) sebagai upaya partai NU membendung kekuatan Partai Komunis Indonesia (PKI) di parlemen. Ditengah meningkatnya suhu politik, pada 14 Mei 1962, saat salat Idul Adha di barisan terdepan bersama Sukarno, Zainul tertembak peluru yang diarahkan seorang pemberontak dalam percobaannya membunuh presiden. Zainul Arifin akhirnya wafat 2 Maret 1963 setelah menderita luka bekas tembakan dibahunya selama sepuluh bulan.
Comments