Biografi Jendral A.H Nasution

 Biografi Jendral A.H Nasution      Abdul Haris Nasution (lahir di Kotanopan, Sumatera Utara, 3 Desember 1918 - meninggal di Jakarta, 6 September 2000 pada umur 81 tahun). Dari pasangan H. A. Halim Nasution (ayah) dan Hj. Zaharah Lubis (Ibu) yang bekerja sebagai petani. A.H. Nasution menikah dengan Sunarti putri dari Gondokusumo pada 30 Mei 1947 dan dikaruniai 2 orang anak bernama Hendriyanti Saharah dan Ade Irma Suryani.  Jendral A.H Nasution atau Jendral Abdul Haris Nasution adalah salah satu Jendral Besar yang ikut serta dalam mewujudkan kemerdekaan Indonesia. Beliau adalah salah satu saksi sejarah yang berhasil menyaksikan sendiri kemerdekaan Indonesia, kepemimpinan Orde Lama (Presiden Soekarno), kepemimpinan Orde Baru (Era Soeharto) dan masa reformasi.  Ayahnya adalah seorang aktivis Sarekat Islam di Kotanopan, Tapanuli Selatan. Nasution kecil sangat gemar membaca. Buku-buku seperti biografi tokoh dunia, sejarah dan kisah Nabi Muhammad serta perang kemerdekaan Belanda dan Perancis telah mengisi hari-harinya.  Setelah lulus AMS-B (setingkat SMA PASPAL) di tahun 1938, Nasution bekerja sebagai guru di Bengkulu dan Palembang. Selepas itu, Nasution pun bergabung ke dalam Akademi Militer dan sempat terhenti pendiidkannya karena invasi Jepang pada tahun 1942. Saat itu, Belanda yang telah kuat armada militernya dapat diberangus

Abdul Haris Nasution (lahir di Kotanopan, Sumatera Utara, 3 Desember 1918 - meninggal di Jakarta, 6 September 2000 pada umur 81 tahun). Dari pasangan H. A. Halim Nasution (ayah) dan Hj. Zaharah Lubis (Ibu) yang bekerja sebagai petani. A.H. Nasution menikah dengan Sunarti putri dari Gondokusumo pada 30 Mei 1947 dan dikaruniai 2 orang anak bernama Hendriyanti Saharah dan Ade Irma Suryani.


Jendral A.H Nasution atau Jendral Abdul Haris Nasution adalah salah satu Jendral Besar yang ikut serta dalam mewujudkan kemerdekaan Indonesia. Beliau adalah salah satu saksi sejarah yang berhasil menyaksikan sendiri kemerdekaan Indonesia, kepemimpinan Orde Lama (Presiden Soekarno), kepemimpinan Orde Baru (Era Soeharto) dan masa reformasi.

Ayahnya adalah seorang aktivis Sarekat Islam di Kotanopan, Tapanuli Selatan. Nasution kecil sangat gemar membaca. Buku-buku seperti biografi tokoh dunia, sejarah dan kisah Nabi Muhammad serta perang kemerdekaan Belanda dan Perancis telah mengisi hari-harinya.

Setelah lulus AMS-B (setingkat SMA PASPAL) di tahun 1938, Nasution bekerja sebagai guru di Bengkulu dan Palembang. Selepas itu, Nasution pun bergabung ke dalam Akademi Militer dan sempat terhenti pendiidkannya karena invasi Jepang pada tahun 1942. Saat itu, Belanda yang telah kuat armada militernya dapat diberangus oleh Jepang karena tak mendapat dukungan dari rakyat. Sedangkan Jepang yang barusan masuk ke Indonesia dengan mudahnya mengalahkan Belanda. Ini menjadi pelajaran bagi Nasution bahwa dukungan rakyat sangatlah penting bagi militer.

Saat perang Revolusi Kemerdekaan I (1946-1948), TNI bahu membahu bersama rakyat melakukan perang gerilya atau disebut perang rakyat. Dan TNI bersama rakyat mendapat kemenangan berhasil mengusir penjajah Belanda yang mau menjajah Indonesia kembali. Saat itu A.H Nasution diberi wewenang memimpin Divisi Siliwangi. Pak Nas menarik kesimpulan berharga lagi bahwa karena rakyat mendukung sepenuhnya maka perang bisa dimenangkan oleh TNI bersama rakyat. Hal ini kemudian diterapkan dalam perang revolusi Kemerdekaan II dimana beliau saat itu menjadi Panglima Komando Jawa (1948-1949).

Beliau adalah jendral idealis yang sangat tekun beribadah. Beliau lebih memilih hidup sederhana ketimbang menumpuk harta walau itu bisa saja dilakukannya mengingat posisinya sebagai orang nomor satu di ABRI. Rumah beliau hingga pensiun tetaplah rumah sederhana yang tak pernah direnovasi. Bahkan entah karena faktor apa, jaringan PDAM rumahnya disabotase oleh orang yang tak menyukainya sehingga beliau harus membuat sumur sendiri guna mendapatkan air bersih. Ternyata walau beliau orang yang sangat jujur dan lurus juga masih ada saja yang tak menyukainya (lha wong Nabi Muhammad saja yang sudah dijamin Allah akhlaknya juga masih memiliki musuh, tak ada yang sempurna di dunia ini).

 Biografi Jendral A.H Nasution      Abdul Haris Nasution (lahir di Kotanopan, Sumatera Utara, 3 Desember 1918 - meninggal di Jakarta, 6 September 2000 pada umur 81 tahun). Dari pasangan H. A. Halim Nasution (ayah) dan Hj. Zaharah Lubis (Ibu) yang bekerja sebagai petani. A.H. Nasution menikah dengan Sunarti putri dari Gondokusumo pada 30 Mei 1947 dan dikaruniai 2 orang anak bernama Hendriyanti Saharah dan Ade Irma Suryani.  Jendral A.H Nasution atau Jendral Abdul Haris Nasution adalah salah satu Jendral Besar yang ikut serta dalam mewujudkan kemerdekaan Indonesia. Beliau adalah salah satu saksi sejarah yang berhasil menyaksikan sendiri kemerdekaan Indonesia, kepemimpinan Orde Lama (Presiden Soekarno), kepemimpinan Orde Baru (Era Soeharto) dan masa reformasi.  Ayahnya adalah seorang aktivis Sarekat Islam di Kotanopan, Tapanuli Selatan. Nasution kecil sangat gemar membaca. Buku-buku seperti biografi tokoh dunia, sejarah dan kisah Nabi Muhammad serta perang kemerdekaan Belanda dan Perancis telah mengisi hari-harinya.  Setelah lulus AMS-B (setingkat SMA PASPAL) di tahun 1938, Nasution bekerja sebagai guru di Bengkulu dan Palembang. Selepas itu, Nasution pun bergabung ke dalam Akademi Militer dan sempat terhenti pendiidkannya karena invasi Jepang pada tahun 1942. Saat itu, Belanda yang telah kuat armada militernya dapat diberangus

Masuknya A.H. Nasution Dalam Dunia Militer


A.H. Nasution memang sudah digariskan untuk menjadi seorang perwira yang berjuang untuk membela, mempertahankan, dan membebaskan negeri ini dari kolonialisme. Meskipun cita-citanya dari kecil untuk menjadi seorang guru, yang mengamalkan ilmunya lewat dunia pendidikan, dengan berjalannya waktu dan tumbuh pemikirannya, akhirnya A.H. Nasution memilih untuk menjadi seorang perwira yang berjuang untuk merebut, mempertahankan, dan mengisi kemerdekaan.

Pada waktu itu, untuk seorang guru sangat dihormati di mata masyarakat. Keinginan itu didorong sepenuhanya oleh kedua orang tuanya dalam memasuki sekolah guru yang bernama Sekolah Raja. Setelah lulus dari Sekolah Raja, A.H. Nasution bekerja dan menerapkan ilmu yang diperolehnya dengan menjadi guru partikelir di Bengkulu dan di Muara Dua dekat Sumatera Selatan pada tahun 1937.

Pada perkembangannya kondisi pekerjaan dirasakan kurang memuaskan bagi A.H. Nasution. Dengan hanya memiliki dua tenaga pengajar yang harus memberi pelajaran serta mengurus segala sesuatu yang berhubungan dengan sekolah ditambah lagi dengan hubungannya dengan pengurus sekolah tidak begitu lancar membuat A.H. Nasution memutuskan berhenti. Selain dari faktor tersebut A.H. Nasution juga semakin menyadari bahwa profesi seorang guru belum sesuai dengan keinginannya. Ia berkeinginan untuk menjadi seorang militer sejati. Pada dasarnya jiwa A.H. Nasution adalah jiwa seorang militer.

Masuknya Jepang ke Indonesia, mempunyai kesempatan untuk melakukan propaganda akibat meletusnya Perang Dunia II, untuk memerdekakan negara-negara di Asia dari penjajahan Barat. Dengan alasan untuk kemakmuran bersama Asia Timur Raya. Bangsa-bangsa di Asia percaya terhadap Jepang untuk bisa mengusir kolonialisme barat sangat besar termasuk Indonesia. Kepercayaan ini pula yang menjadikan dinas rahasia Jepang dapat mengadakan front dalam negeri untuk menikam Belanda. Dengan demikian secara tidak langsung dimulailah kolonial Jepang menggantikan kolonial Belanda atas Indonesia.

Pada masa penjajahan Jepang dibentuk ketentaraan teritorial yang disebut dengan Pembela Tanah Air (PETA). Anggota PETA sendiri dari kalangan pribumi yang ingin membela dan mempertahankan bangsa bersama Jepang. Itu merupakan siasat dari Jepang untuk menambah kekurangan pasukan Jepang karena kekalahan pada perang melawan sekutu. A.H. Nasution menjadi salah satu anggota Badan Pembantu Prajurit yang tidak dipersenjatai. Badan ini bertugas untuk membantu kesejahteraan prajurit PETA dengan pimpinan Otto Iskandardinata dengan mempunyai wilayah tugas yang diemban pada A.H. Nasution meliputi Jakarta, Semarang, Solo, dan Surabaya.

Kariernya dalam militer perlahan tapi pasti terus berkembang dalam masa-masa yang bergejolak. Ketika bangsa ini mencapai kemerdekaan pada 1945, A.H. Nasution merupakan Kolonel Tentara Keamanan Rakyat (TKR) dan menjabat sebagai Kepala Staf Komandemen I Jawa Barat. Pada tahun 1945-1946 itu pula kemudian A.H. Nasution sebagai Kolonel Tentara Keamanan Rakyat (TKR) menjadi Panglima Divisi III TKR (Priangan).

Pada tahun 1943, A.H. Nasution bekerja sebagai pegawai Kotapraja Bandung dan menjabat sebagai Pimpinan Barisan Pemuda dan Wakil Komandan Batalyon Barisan Pelopor. Ketika bangsa Indonesia mencapai kemerdekaan tanggal 17 Agustus 1945, A.H. Nasution merupakan Perwira Tentara Keamanan Rakyat (TKR) dan menjabat sebagai Kepala Staf Komandemen I Jawa Barat. Kemudian beliau mendapatkan kepercayaan untuk menggantikan Kolonel Aruji sebagai Panglima Divisi III TKR yang meliputi wilayah seluruh Priangan ditambah wilayah Sukabumi dan Cianjur. A.H. Nasution membawahi Resimen 8 dan 9 sehingga kelaskarannya menjadi lebih kuat.

Pada tahun 1946 dan 1948 jabatan A.H. Nasution naik sebagai Mayor. Divisi Siliwangi yang merupakan gabungan dari Divisi I, Devisi II, dan Divisi III. Dalam kurun tahun 1947-1948 A.H. Nasution telah memimpin perang gerilya Jawa Barat melawan Agresi Militer Belanda I. Selama menjabat sebagai Mayor Jendral, A.H. Nasution menjadi Wakil Panglima Besar Angkatan Perang Republik Indonesia (APRI) merangkap sebagai Kepala Staf Operasi Markas Besar Angkatan Perang dan mewakili tugas Panglima Besar Jenderal Sudirman karena pada saat itu beliau dalam keadaan sakit.

Pada tahun 1949, A.H Nasution mendapat kepercayaan lagi untuk menjabat Kepala Staf Angkatan Darat Republik Indonesia Serikat (KSAD RIS) dengan pangkat Kolonel sampai dengan tahun 1952. Pada tahun 1952 beliau sempat dinonaktifkan sebagai KSAD setelah peristiwa 17 Oktober 1952.

Peristiwa 17 Oktober 1952 merupakan dimana A.H. Nasution memimpin tentara mengadakan Show of Force yakni dengan mengepung istana kepresidenan dengan persenjataan lengkap. Karena peristiwa tersebut, A.H. Nasution dianggap melakukan kudeta. Didalam petisi tersebut, A.H. Nasution menginginkan ketegasan dari Presiden Sukarno dan membubarkan parlemen yang pada waktu itu tidaklah stabil. Setelah masalah intern TNI AD itu selesai tahun 1955, A.H. Nasution diangkat kembali menjadi KSAD.

Pada tahun 1958-1960 terjadi kemelut mengenai Irian Barat. A.H. Nasution menjadi salah satu anggota yang bergabung dalam Anggota Dewan Nasional dan Ketua Front Nasional Pembebasan Irian Barat. Dan pada tahun 1958 pula, A.H. Nasution diangkat sebagai Letnan Jendral. A.H. Nasution menapaki karier dan pekerjaannya, secara setapak demi setapak sampai akhirnya ia mencapai pangkat tertinggi dalam karier kemiliterannya.

Selain di dunia militer, A.H. Nasution juga mempunyai karier dalam bidang politik. Hal ini bisa dilihat dari kedudukannya yang sangat strategis di bidang politik. Ia pernah menjabat sebagai Menteri Keamanan Nasional, Ketua Panitia Penyusun Badan Pengawas Kegiatan Aparatur Negara, anggota Panitia Perumus Dekrit Presiden untuk kembali kepada UUD 1945, panitia Tiga Menteri Pelaksanaan Penpres Tujuh tentang Penyederhanaan Kepartaian, anggota Panitia Enam untuk Regrouping Kebinet Kerja, anggota Penyusunan MPRS, Ketua Panitia Retooling aparatur Negara, Wakil Ketua Pengurus Besar Front Barat, Anggota MPRS, dan Ketua MPR.

Comments

Silahkan tambahkan komentar Anda