Biografi Nyonya Meneer


Biografi Nyonya Meneer  Nyonya Meneer, perempuan keturunan Tionghoa kelahiran Sidoarjo tahun 1895 ini terlahir sebagai Lauw Ping Nio. Nama Meneer yang disandangnya bukan karena ia adalah istri seorang meneer Belanda, melainkan berasal dari nama beras menir, yaitu sisa butir halus penumbukan padi. Saat masih berada dalam kandungan, ibunya mengidam dan memakan beras ini sehingga anak ketiga dari lima bersaudara ini kemudian diberi nama Menir. Karena pengaruh bahasa Belanda, kata menir akhirnya ditulis menjadi "Meneer".  Meneer kemudian menikah dengan seorang pria asal Surabaya bernama Ong Bian Wan. Setelah menikah, ia diboyong sang suami pindah ke Semarang, Jawa Tengah. Di awal abad-20, rakyat Indonesia berada di masa-masa yang amat memprihatinkan akibat perlakuan kejam pemerintah kolonial Belanda. Suami Nyonya Meneer pun tak luput menjadi korbannya, ia jatuh sakit dan sulit sembuh. Namun justru ketika berada di tengah keterbatasan dan keprihatinan itulah, Nyonya Meneer membuktikan bakat dan kepiawaiannya meracik jamu. Ternyata ramuan itu mujarab padahal berbagai pengobatan tidak mampu memulihkan kondisi suami tercinta.  Setelah suaminya berhasil sembuh, ia semakin bersemangat untuk mengasah dan mempraktikan ilmu dan pengetahuan meracik jamu yang merupakan warisan dari orang tuanya. Nyonya Meneer yang ringan tangan dan sangat peduli pada



Nyonya Meneer, perempuan keturunan Tionghoa kelahiran Sidoarjo tahun 1895 ini terlahir sebagai Lauw Ping Nio. Nama Meneer yang disandangnya bukan karena ia adalah istri seorang meneer Belanda, melainkan berasal dari nama beras menir, yaitu sisa butir halus penumbukan padi. Saat masih berada dalam kandungan, ibunya mengidam dan memakan beras ini sehingga anak ketiga dari lima bersaudara ini kemudian diberi nama Menir. Karena pengaruh bahasa Belanda, kata menir akhirnya ditulis menjadi "Meneer".

Meneer kemudian menikah dengan seorang pria asal Surabaya bernama Ong Bian Wan. Setelah menikah, ia diboyong sang suami pindah ke Semarang, Jawa Tengah. Di awal abad-20, rakyat Indonesia berada di masa-masa yang amat memprihatinkan akibat perlakuan kejam pemerintah kolonial Belanda. Suami Nyonya Meneer pun tak luput menjadi korbannya, ia jatuh sakit dan sulit sembuh. Namun justru ketika berada di tengah keterbatasan dan keprihatinan itulah, Nyonya Meneer membuktikan bakat dan kepiawaiannya meracik jamu. Ternyata ramuan itu mujarab padahal berbagai pengobatan tidak mampu memulihkan kondisi suami tercinta.

Setelah suaminya berhasil sembuh, ia semakin bersemangat untuk mengasah dan mempraktikan ilmu dan pengetahuan meracik jamu yang merupakan warisan dari orang tuanya. Nyonya Meneer yang ringan tangan dan sangat peduli pada orang-orang di sekitarnya ini dengan senang hati meracik jamu untuk keluarga, tetangga, kerabat maupun masyarakat sekitar yang demam, sakit kepala, masuk angin dan berbagai penyakit ringan lainnya. Sebagian besar dari mereka mengaku puas setelah merasakan khasiat jamu buatan Nyonya Meneer.

Seiring berjalannya waktu, Meneer semakin percaya diri meramu rempah-rempah dan tanaman berkhasiat lainnya. Perlahan namun pasti, jamu racikannya mulai merambah ke kota-kota lain di sekitar Semarang. Semakin banyak pula permintaan yang datang padanya untuk mengantarkan sendiri jamu racikannya itu. Kesibukan Nyonya Meneer di dapur tidak memungkinkan untuk memenuhi permintaan itu. Dengan berat hati ia minta maaf dan sebagai gantinya, ia mencantumkan fotonya pada kemasan jamu buatannya. Tak ada yang keberatan, tak ada pula yang menduga bahwa di kemudian hari, jamu dengan potret seorang wanita ini begitu melegenda dan masih dipertahankan hingga kini sebagai simbol perusahaan.

Berbekal perabotan dapur biasa, usaha keluarga ini terus memperluas daerah penjualan. Hingga akhirnya, pada tahun 1919, demi mendukung kemampuan mengagumkan ibu empat anak ini dalam menolong orang lain dengan racikan jamunya yang berkhasiat tersebut, suami dan keluarganya mendukung pendirian sebuah usaha yang dinamai "Jamu Cap Potret Nyonya Meneer" di Semarang.

Untuk memberikan pelayanan terbaik pada pelanggannya, Meneer juga membuka toko di Jalan Pedamaran 92, Semarang. Dengan bantuan anak-anaknya, perusahaan itu terus berkembang pesat. Jamu Nyonya Meneer tercatat mulai merambah pasar Jakarta saat putrinya yang bernama Nonnie pada tahun 1940 memutuskan untuk hijrah ke Jakarta dan membuka gerai Nyonya Meneer, di Jalan Juanda, Pasar Baru, yang merupakan salah satu pusat kegiatan ekonomi. Jamu yang tadinya muncul dari keterbatasan dan keprihatinan ini pun masuk ke ibukota dan meluas hingga ke seluruh penjuru negeri.

Pada tahun 1967, Nyonya Meneer duduk sebagai Direktur Utama, meskipun secara formal perusahaan dipercayakan kepada salah satu putranya, Hans Ramana. Sedangkan tiga anak lainnya yakni Lucy Saerang, Marie Kalalo, dan Hans Pangemanan diangkat menjadi anggota dewan komisi perusahaan. Sementara itu, untuk model manajemen masih mengikuti model yang diajarkan sang pendiri yang berorientasi pada keuntungan besar. Perusahaan juga masih menggunakan sistem pengelolaan yang sederhana dan tradisional.

                       Biografi Nyonya Meneer  Nyonya Meneer, perempuan keturunan Tionghoa kelahiran Sidoarjo tahun 1895 ini terlahir sebagai Lauw Ping Nio. Nama Meneer yang disandangnya bukan karena ia adalah istri seorang meneer Belanda, melainkan berasal dari nama beras menir, yaitu sisa butir halus penumbukan padi. Saat masih berada dalam kandungan, ibunya mengidam dan memakan beras ini sehingga anak ketiga dari lima bersaudara ini kemudian diberi nama Menir. Karena pengaruh bahasa Belanda, kata menir akhirnya ditulis menjadi "Meneer".  Meneer kemudian menikah dengan seorang pria asal Surabaya bernama Ong Bian Wan. Setelah menikah, ia diboyong sang suami pindah ke Semarang, Jawa Tengah. Di awal abad-20, rakyat Indonesia berada di masa-masa yang amat memprihatinkan akibat perlakuan kejam pemerintah kolonial Belanda. Suami Nyonya Meneer pun tak luput menjadi korbannya, ia jatuh sakit dan sulit sembuh. Namun justru ketika berada di tengah keterbatasan dan keprihatinan itulah, Nyonya Meneer membuktikan bakat dan kepiawaiannya meracik jamu. Ternyata ramuan itu mujarab padahal berbagai pengobatan tidak mampu memulihkan kondisi suami tercinta.  Setelah suaminya berhasil sembuh, ia semakin bersemangat untuk mengasah dan mempraktikan ilmu dan pengetahuan meracik jamu yang merupakan warisan dari orang tuanya. Nyonya Meneer yang ringan tangan dan sangat peduli pada

Memasuki dekade 1970-an, persaingan di industri jamu mulai ketat. Banyak pesaing Nyonya Meneer yang bermunculan di pasar. Pertarungan sengit antar produsen jamu dari segi harga, peluncuran jenis produk yang serupa, hingga pertarungan untuk memperebutkan pangsa pasar terlihat sangat kentara pada masa itu. Dua perusahaan yang merupakan pesaing agresif bagi jamu Cap Nyonya Meneer adalah PT Sido Muncul dan PT Air Mancur. Oleh sebab itu, perusahaan Jamu Cap Nyonya Meneer yang awalnya hanya mengandalkan produk minuman jamu seperti temulawak, awet ayu, dan jamu habis bersalin, lambat laun mulai melakukan diversifikasi produk agar tidak tergilas roda

Comments

Silahkan tambahkan komentar Anda